Dalam “Hari Buku Nasional” kemarin (17/5), di halaman Istana Negara Jakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendongengkan “Lutung Kasarung” dihadapan puluhan anak-anak. Mengapa yang dipilih cerita rakyat dari tatar Sunda? Bukan dari daerah lain? Padahal Dongeng “Sangkuriang” lebih popular. Terlebih cerita ini, menyangkut sasakala (asal-usul) dari Gunung Tangkuban Perahu. Begitu juga dengan dongeng “Nyi Endit”, legenda hadirnya situ (danau) Bagendit di kawasan Garut.
Begitu juga dongeng lain yang dikenal, “Malin Kundang” dari Minang, Sumatera Barat. Atau cerita “Roro Jongrang” dari Jawa. Atau bukan cerita-cerita lainnya, seperti “Timun Mas”, “Batu Nong” (Sumbawa) serta cerita lainnya. Nusantara ini, begitu kaya dengan khasanah cerita rakyat.
Tentunya, Jokowi memilih cerita ini, bukan sekedar ada cerita. Bukan sekedar mendongeng. Juga bukan hanya muatan pesan dan moralnya semata yang ingin disampaikan. Cerita “Lutung Kasarung” sendiri adalah perebutan tahta kerajaan antara kakak beradik. Yaitu Purba Larang yang digambarkan jahat, ambisius, iri, serakah dan malas. Sementara adiknya, Purbasari, kebalikannya. “Dia baik hati, jujur, suka menolong, rajin belajar dan rajin bekerja,” kata presiden Jokowi di hadapan anak-anak.
Purba Larang yang merasa tersaingi, dia menyewa tukang tenung agar mencelakakan Purba Sari dengan cara membuat jelek wajahnya serta penyakitan. Akibatnya, Purba Sari dibuang ke hutan dan disanalah bertemu dengan Lutung Kasarung. Namun dari pertemuan inilah, mantra tenung hilang ketika Lutung Kasarung mengajak Purba Larang mandi di sebuah telaga.
Mendengar kabar itu, Purba Larang menantang untuk menemukan calon suami yang lebih tampan. Tentu saja Purbasari kebingungan, karena dia hanya memiliki Lutung Kasarung yang jelek rupa.
Namun tanpa dikira, Lutung Kasarung adalah penjelmaan seorang pangeran tampan. Semuanya berakhir dengan happy ending. Keduanya rukun saling memaafkan dan kembali ke istana bertemu dengan ayah mereka, Prabu Tapa Agung.
Setelah mendongeng, Jokowi berpesan, “Jadi anak-anak kalau mengejar cita-cita itu harus bekerja keras, rajin belajar, dan jangan seang curang. Jangan menghina orang lain, menjelek-jelekan orang lain adan menjelek-jelekan teman. Tidak boleh. Kita harus suka menolong teman.”
Jelas, dari pesan ini, bukan hanya ditujukan pada anak-anak. Tapi pada seluruh komponen bangsa. Pesan ini, tidak jauh berbeda seperti sehari sebelumnya, ketika Jokowi bertemu dengan tokoh lintas agama. Sebagai Presiden, sebagai kepala negara, dia ingin meredam gejolak yang sedang berlangsung.
Jokowi meminta agar gesekan-gesekan antar kelompok masyarakat yang terjadi belakangan terakhir segera dihentikan. “Masyarakat tidak saling menghujat, menjelek-jelekan sesame, maupun saling memfitnah,” ungkapnya.
Meski ketika dicalonkan, bahkan sampai sekarang setelah menjadi orang nomor satu negeri ini, Jokowi kenyang dengan berbagai hujatan, berbagai tuduhan, fitnah, bahkan ejekan yang menyasar penampilan dirinya. Terutama di jejaring sosial dengan menampilkan meme yang tak senonoh. Bagaimana pun Jokowi adalah Kepala Negara Indonesia.
Siapapun mengakui, postur Jokowi bukanlah pas untuk seorang kepala negara. Tubuhnya yang kurus, wajahnya yang ndeso dan njawa. Tapi inilah, gambaran yang dipapandekeun(diibaratkan) pada cerita “Lutung Kasarung”; yang didongengkannya.