Sebagai muslim, pastilah ingin berhaji. Menunaikan rukun Islam yang terakhir. Pergi ke tanah suci. Setidaknya berangkat umrah, cukuplah. Siapapun akan runtuh air mata manakala di Masjidil Haram. Di Baitullah. Di hadapan Ka’bah. Alluhu Akbar! Labbaik Alllahuma Labbaik…
“Semoga menjadi haji mabrur….” Demikian doa para kerabat, Kiai sampai para mentri ketika mengantar jemaah haji saat kloter pertama hendak pergi ke Tanah Suci.
Pergi haji ke Tanah Suci lebih sekali, merupakan anugrah Ilahi yang besar. Terlebih sekarang, harus menunggu lebih dari sepuluh tahun. Dan, haji ganjarannya adalah surga, maka saat sakaratul maut bagi mereka selalu dimudahkan.
Namun tidak bagi Wak Danang, suami Wak Suli kakak perempuan dari Bapak. Memasuki pintu alam barzakh seperti terasa sulit. Padahal Wak Danang, telah mengalami kesempuraan sebagai seorang muslim. Dua kali berhaji bersama istrinya. Namun kesempurnaan seperti ada yang menahan. Wak Danang sakit keras. Bahkan sejumlah dokter telah angkat tangan. Istilah medisnya beliau dinyatakan dalam keadaan: koma.
Setelah sekian lama di rumah sakit, maka dengan keadaan seperti itu, tiada lain Wak Danang dibawa kembali ke rumah. Sudah tak terkira banyak orang menjenguk. Tidak hanya tetangga dan kerabat serta kenalannya. Juga entah berapa pengurus yayasan serta masjid dan pesantren. Bagaimanapun Wak Danang adalah donatur tetap. Semuanya yang takjiah mendoakan yang terbaik bagi kesembuhannya. Atau terbaik dari Sang Maha Khalik, meskipun harus dipanggil pulang.
Bahkan hampir setiap hari, ada saja yang mengaji di tempatnya berbaring. Setiap hari ada dari yayasan, mesjid dan pesantren mengutus seorang atau beberapa orang untuk membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tapi rupanya malaikat Izrail belum berkenan ada perintah mencabut ruhnya. Sehingga keadaan ini, membuat gusar Wak Suli. Lalu, salah seorang kerabatnya memberikan saran: agar mengundang Ajengan atau Kiai Mustofa.
“Barangkali beliau (kiai Mustofa), dapat memberikan jalan,” kata salah seorang santri dari sebuah pesantren, yang pernah mengenal bagaimana kewaskitaan pemilik sebuah pesantren terkenal ini. Tanpa membuang waktu, segeralah diutus menemui beliau agar berkenan di undang ke rumah.
Arkian, setelah beliau bermunajat sejenak, tidak seorang pun yang mengira bahwa orang yang dapat mengantarkan Wak Danang pulang menuju ke alam barzakh adalah: saya.
“Wak Ajengan pasti bergau,” ujar saya, ketika diangkir (diundang) menghadap beliau. Saya menyebutnya Wak Ajengan, karena beliau masih kerabat kami. Tepatnya istri beliau adalah kakak Ibu. Bagaimana tidak merasa terkejut dan heran? Saya masih banyak bergelimpangan salah dan dosa. Jadi, mana mungkin saya dapat mengantarkan pulang Wak Danang ke gerbang alam barzah dengan tenang.
“Hehehe, seekor anjing kudisan tengah kelaparan dapat mengantarkan seorang pelacur yang penuh dosa kehadiratNya dengan tenang, bahkan ditempatkan di surga,” tukas Ajengan Mustofa sambil terkekeh.
Saya ikut tersenyum. Sudah berkali-kali saya mendengar hikayat itu. Alkisah: seorang pelacur ingin bertobat. Namun dia merasa bahwa dosanya begitu bertumpuk dan tak terampuni. Maka ketika mencari ridla Allah, ia berjumpa dengan seekor anjing yang kelaparan dan kehausan. Dengan tulus ia memberi makanan dan minuman. Padahal ia pun membutuhkannya, sehingga ia menjadi kelaparan. Dan, tak seorang pun sudi memberinya sedekah. Namun Allah Azza Wajalla memberi pengampunan saat dia meninggal.