Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Akrobat dan Sulap dalam Kehidupan Kita

29 Maret 2017   06:58 Diperbarui: 29 Maret 2017   15:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika melihat pertunjukan sirkus, selain pertunjukan sulap, maka pertunjukan akrobat-lah yang paling dinanti. Penonton dipacu adrenalinnya, manakala melihat orang berjalan di atas seutas tali baja, bergelantungan dan melakukan salto di udara. Melihat ini, penonton akan berdebar-debar,  berdecak kagum dan bertepuk tangan.

Pertunjukan akrobat dalam sircus ini, mengingatkan saya saat perilaku sopir atau pengendara kendaraan bermotor. Begitu pula saat pengalaman ketika mengikuti perjalanan mencari sapi ke pasar-pasar hewan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika pergi ke lokasi, saya menggunakan berbeda-beda truk pengangkut sapi. Saat perjalanan pulang, adrenalin sering terpacu manakala melihat cara sopir mengemudikan truknya.

Dengan enaknya kang Dayat, sang sopir dari kota Sumedang memegang kemudi sambil ber-sms-ria. Sesekali menerima telepon. Bahkan sambil merokok pula. Dia mengendalikan kemudi dengan sikutnya. Sesekali memijit knop lampu tanda akan belok kanan atau belok kiri. Untuk menyiasati agar tak terlihat polisi, karena “merasa bersalah” menggunakan HP sambil mengemudi maka kaca jendela pintu mobil dengan kaca film gelap dia naikkan dengan penuh.

Lain halnya dengan Dodi, seorang sopir truk yang biasa bolak-balik dari Garut ke pasar hewan di Jatirogo, Jawa Timur. Ketika dilirik, sepanjang jalan dia sedang ber-face book dengan temannya. Busyet! Melihat ini langsung sport jantung. Membuat perasaan saya jadi miris. Malahan saya perhatikan, rata-rata sopir truk ber-hp-ria. Alasannya untuk menghilangkan kejenuhan. Saya yakin, semua sopir mengetahui  dalam UU Lalulintas dan Jalan Raya no. 22 tahun 2009, salah satu pasalnya memuat: saat mengemudi dilarang menggunakan HP.

Saya bertani bertaruh, sopir-sopir truk kita yang sering melakukan perjalanan jauh paling jago dalam mengemudi. Rasanya mereka bisa menjalankan mobilnya sambil mata terpejam. Lain halnya sopir elf tujuan ke sebuah pelosok di Cianjur. Di depan bagian sopir, terkadang dijejal sampai empat orang. Sehingga sang sopir terkesan hanya nogel. Tangan kananya berada di luar pintu. Dengan hanya menggunakan tangan kiri, sang sopir dengan tapis memainkan kemudi.

Sikap “main” akrobat ini, saya rasakan saat truk  pengangkut “kesiangan”. Jam digital di HP menunjukan pk. 6.15 WIB. Ketika memasuki Jl. Ujungberung, disesaki ratusan kendaraan roda dua dan empat. Kepadatan lalulintas pagi hari, mirip seperti saat arus mudik. Ratusan motor yang melaju kea rah Barat, memenuhi lajur yang berlawanan. Terlebih ketika mendekati terminal Cicaheum. Nyaris kedua jalur jalan disesaki para pengendara motor.

Andrenalin saya sering terpacu, manakala melihat bagaimana para pengendara motor, juga angkot menjalankan kendaraannya. Dua jenis kendaraan ini, sering dengan seenaknya menyalip tanpa memberi lampu aba-aba berbelok. Rambu-rambu di jalan raya dianggap hanyalah sekedar hiasan.

Sekarang ini, seperti ada pameo baru. “Jangan percaya pada ibu-ibu yang mengendari motor metic”. Betapa tidak? Seringkali saat mengendai, dia menyalakan lampu belakang seolah akan berbelok ke arah kanan, tapi berbelok ke arah sebaliknya. Saya pernah mengalaminya beberapa kali, sehingga apabila menemukan seperti ini, lebih baik mengambil jarak.

Melihat keadaan ini, saya jadi berpikir: Sopir truk, pengendara motor atau pengemudi angkot adalah kelas menengah ke bawah. Mereka merupakan masyarakat pada umumnya. Dalam menjalankan kehidupan saat sekarang ini, seperti dalam ungkapan “hulu dijieun suku, suku dijieun hulu” (kepala dijadikan kaki, kaki dijadikan kepala) sama dengan main akrobat. Keadaan ini, merupakan cerminan bagaimana masyarakat “ti hot-hat” (baca: berjibaku)  mempertahankan hidup.

Barangkali sikap ini, untuk mengimbangi para elit politik kita. Mereka yang meraih jabatan dan kekuasaan kebanyakan bukan hanya lewat seperti main akrobat, tapi sambil bermain sulap. Menyulap angka dua menjadi lima. Menyunglap huruf “A” menjadi “U”.  Apapun dilakukannya untuk mencapai tujuan. Namun, kita yang menyaksikannya bukan berdecak kagum dan bertepuk tangan. Sebaliknya menggeruitu, memaki dan merasa muak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun