Jaranan lebih dikenal dengan sebutan “kuda lumping”, seringkali diidentikan dengan kesurupan, makan beling dan atraksi kanuragan lainnya. Anggapan sederhana ini, karena banyak yang tak memahami, bahwa kesenian kuda lumping penuh filosofi.
“Lumping sendiri berarti bambu, karena alat kudanya terbuat dari bambu sedang anyamannya motif kepang, maka ada yang menyebut jaran kepang,” ujar Ki Haryono (61), ditemui sebelum sesi kedua pertunjukan kuda lumping dimulai di candi Kidal.
Dia bersama besannya, Ki Solikin, merupakan generasi ke empat penerus kesenian kuda lumping di Desa Kidal. Pada saat ini, keduanya menamai kelompoknya dengan “Seni TradisionalKuda Lumping Anusopati” Desa Kidal-Tumpang. Sedangkan Mbah Syan, diyakini sebagai pencetus awalnya. Diperkirakan, kesenian kuda lumping lahir dari Desa Kidal ini.
Menurutnya, dulu kesenian ini lahir sebagai alat perjuangan. Naluri awalnya, kuda terbuat bongkok (pelepah kelapa) yang dibentuk pipih sebagai alat kudanya. Demikian cambuk yang dibawa pemain, dulu berupa sodoran berbahan bilah rotan.
“Alat musiknya pun masih sederhana, hanya ruas-ruas bambu yang dipukul, menyusul jidor (bedug kecil) dan kendang. Pemainnya pun tak lebih dari enam hingga di halaman rumah pun, kesenian ini bisa dimainkan,” katanya.
Seiring dengan tuntutan jaman, agar lebih meriah maka bilah-bilah bambu dibentuk menjadi angklung. Demikian pula, alat musik gamelan dan adanya sinden hadir agar lebih meriah. Hingga disebut kesenian kuda lumping campur sari. Lagu-lagu yang dibawakan, terkadang yang sedang top dipasaran.
Pewarnaan kuda lumping dengan putih, merah dan hitam, punya makna sendiri. Kuda lumping dengan warna dominan putih disebut “turangga seto”. Diartikan sebagai kesucian, sedang untuk merah “juring perantas”. Punya makna sebagai keberanian, sedang kuda lumping berwana hitam, artinya “sopo nyono” (siapa sangka).
“Pewarnaan ini, dikaitkan pula pada masa perjuangan dulu, bahwa warna merah dan putih sekarang menjadi warna bendera kita, sedangkan hitam adalah gelapnya masa penjajahan,” tuturnya.
Aksesoris “kencringan” bukanlah sekedar pelengkap. Alat berupa kincring berbagai ukuran, diikatkan pada bagian kaki pemain kuda lumping. Ketika pemain menghentak-hentakan kakinya, maka terdengar gemerincing. Maknanya, kata Ki Haryono, bahwa suara masyarakat yang berada di bawah harus didengar telinga penguasa.
Kesenian kuda lumping, lanjutnya, tak memiliki pakem. Alur cerita hanya terbagi pada bagian pembuka. Ditandai dengan pembacaan doa dari pemangguh. Dia bertindak sebagai pawang. Istilah ‘pemangguh” kata Ki haryono lebih pas ketimbang pawang untuk menaklukan binatang. Lewat cambuk yang nyaris tak pernah lepas dari genggamannya, dia pengendali kuda lumping. Terutama pada saat keadaan trans atau kesurupan.