Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler dari film "Five Nights at Freddy's", dan game "FNAF: Security Breach". Artikel ini hanya sebuah analisis yang dibuat berdasarkan fakta yang sudah disajikan.
Sudah tidak dapat dimungkiri bahwa dalam film FNAF terdapat banyak sekali alur dan kisah yang rumit untuk dicerna, tetapi yang menarik perhatian adalah kehadirannya karakter Vanessa (Elizabeth Lail) dan masa lalu kelamnya yang ia sembunyikan dari Mike dan para audiens. Film FNAF dibuat berdasarkan dari game FNAF 1. Yang membuat saya bingung adalah, karakter Vanessa merupakan karakter dari game Security Breach, membuat dia beda sendiri dari karakter lainnya.
Persamaan dan Perbedaan
Karakter Vanessa di game digambarkan sebagai wanita pirang dan mata berwarna hijau, sama halnya seperti di film. Tetapi, ia juga digambarkan sebagai seorang pembunuh dengan kostum kelinci putih yang berada di bawah naungan William Afton, yang dipanggil dengan nama Burntrap/Glitchtrap di permainan tersebut. Ia bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah tempat bernama Pizzaplex, dimana ia akhirnya dimanipulasi oleh William untuk membantu dia hidup kekal. Di game tersebut diceritakan bahwa Vanessa mempunyai ayah yang manipulatif dan berkuasa, dengan menyuruhnya berbohong kepada jaksa tentang ibunya agar ayahnya mendapakan hak asuh anak. Sedangkan di filmnya, Vanessa dibungkam oleh ayahnya sendiri selama 20 tahun lebih agar tidak melaporkan kejahatan yang ia lakukan kepada polisi dan mempatuhi perintahnya untuk membunuh Mike jika ia mengetahui terlalu banyak. Persamaannya adalah ayahnya yang manipulatif.
"You had one job. Keep him in the dark, and kill him if he got too close."Â Perintah dari ayahnya Vanessa.
Trauma yang Dimiliki
Kalau dipirkan lebih dalam lagi, sangatlah keliatan bahwa Vanessa memiliki trauma karena masa kanak-kanaknya yang suram. Vanessa bisa dikatakan melihat ayahnya sendiri melakukan pembunuhan kepada anak-anak yang sekarang merasuki animatronik kala itu, atau setidaknya mendengarnya, dibuktikan dengan adegan dimana ia sedang melihat gambaran seorang anak di kertas yang dipajang di dinding restoran pizza, dalam seketika suara tawa para anak-anak terngiang di kepalanya, tak lama kemudian, menjelma menjadi teriakan ketakutan.Â