Mohon tunggu...
Abdullah Ali
Abdullah Ali Mohon Tunggu... -

STMKG-BMKG Penuntut ilmu cuaca dan iklim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bandung Lautan Api kini menjadi Bandung Lautan Es

24 April 2017   07:27 Diperbarui: 24 April 2017   17:00 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Sekarang telah menjadi lautan api, mari Bung rebut kembali!”

-Ismail Marzuki, 1946-

Derap langkah para Taruna yang sedang berlari sambil menyanyikan lagu Halo Halo Bandung terdengar berirama. Semangat pengorbanan rakyat Bandung yang membakar bangunan-bangunan di Kota Bandung agar tidak dikuasai kembali tentara NICA Belanda tersirat pada wajah para Taruna. Lautan api telah menjadi sejarah, kini Bandung berubah, menjadi lautan es.

Dalam jangka waktu satu pekan terakhir, Kota Bandung telah mengalami dua kali hujan es yang menyebabkan sejumlah kerugian material. Kejadian pertama pada tanggal 19 April 2017 disusul hujan es yang terjadi pada hari Minggu tanggal 23 April 2017, keduanya terjadi pada siang hingga sore hari. Kejadian ini tak luput dari perhatian pemerintah Kota Bandung, Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung secara langsung menghimbau masyarakat untuk mewaspadai kejadian cuaca ekstrem ini. Bagaimana tidak, kedua kejadian hujan es tersebut telah banyak menyebabkan kerugian, papan reklame roboh, pohon-pohon yang tumbang dan menimpa mobil, hingga Balaikota dan Pengadilan Negeri Bandung yang menjadi sasarannya pada kejadian kemarin sore (23/4). Imbauan ini mengerucut untuk menghindari adanya korban jiwa pada saat hujan es terjadi.

Kota Bandung menjadi kota yang sangat sering mendapatkan pemberitaan media kejadian hujan es. Secara teori, topografi Bandung yang berupa dataran tinggi akan lebih rentan terhadap hujan es pada saat cuaca ekstrem datang, dan hujan es yang terjadi juga akan dibarengi dengan angin kencang. Walaupun pada saat jatuh di permukaan butiran-butiran es hanya berukuran sebesar kelereng, bayangkan apabila kelereng tersebut jatuh secara bersamaan dalam luasan puluhan kilometer, dan dihempas angin yang kuat. Tentu akan menjadi hal yang sangat mengerikan.

Lalu apa yang dapat masyarakat lakukan sebagai bentuk sikap arif terhadap alam? Apakah masyarakat patut menyalahkan hujan es? Tidak, sangat tidak patut. Masyarakat perlu lebih cerdas dan arif dalam menghadapi fenomena ini. Di Indonesia, kejadian esktrem akan terjadi lebih intens pada saat musim peralihan, dimana udara masih menyimpan banyak uap air sebagai “sisa” dari musim penhujan pemanasan matahari mulai intens. Masyarakat dapat mengenali beberapa tanda-tanda di sekitarnya yang dapat berpotensi menyebabkan hujan es. Simak poin-poin berikut :

  • Kondisi sehari sebelumnya relatif panas, namun tidak hujan. Pada saat inilah atmosfer sedang mengumpulkan energi. Hujan merupakan salah satu ekspresi dari atmosfer saat melepaskan energi.
  • Keesokan harinya suhu lingkungan sangat cepat berubah menjadi panas, indikatornya adalah suhu pada pukul 7 hingga 10 pagi. Apabila perbedaannya lebih dari 3 derajat celcius, maka peluang adanya hujan lebat hingga hujan es meningkat. Masyarakat bisa menggunakan smartphone nya untuk melihat suhu.
  • Manfaatkan teknologi yang telah ada, masyarakat Bandung bisa melihat prakiraan kota Bandung yang dirilis BMKG pada laman www.bmkg.go.id. Prakiraan berupa hujan petir berpotensi menyebabkan hujan es.
  • Pantau awan-awan yang berpotensi menyebabkan hujan es, yaitu awan Cumulonimbus. Awan ini bisa telihat melalui produk citra satelit BMKG yang dapat diakses pada laman http://bmkg.go.id/satelit/ dan produk citra radar BMKG pada laman http://bmkg.go.id/cuaca/citra-radar.bmkg.

Secara umum, hal-hal tersebut dapat diamati di daerah manapun, tidak hanya Bandung. Warga yang tinggal di Jakarta, Bogor, Surabaya yang juga kerap mengalami hujan es pun dihimbau untuk mengenali tanda-tanda alam melalui panca indra maupun kemajuan teknologi yang ada.

Bersikap ariflah terhadap alam, pada dasarnya semua yang terjadi di alam ini adalah pemberian dan rahmat Allah kepada umat manusia.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun