Mohon tunggu...
Ali Arief
Ali Arief Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Saya berasal dari Kota Medan...berkarya dan berkreativitas dibutuhkan kemauan dan keyakinan untuk tetap konsisten di jalur kejujuran dan kebenaran...tetap belajar memperbaiki diri...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memori Putih Abu-abu

4 April 2022   18:36 Diperbarui: 4 April 2022   19:37 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Gambar: Sekitar Pantura.com)

Menjelang pagi di balik sela-sela jendela rumah, terlihat Sang Mentari mulai menampakkan sinarnya. Aku duduk di teras rumah dan sesekali mengingat kembali masa lalu saat masih berseragam putih abu-abu. Ade, Teguh, Salyuddin, Malim, Andi, Hakim, Supriyadi, Burhan, Shafwan, dan Mulyadi, merekalah siswa laki-laki yang selalu membuat suasana belajar di kelas terkesan ramai karena mereka memiliki karakter yang berbeda-beda. Maniseh, Mefrida, Mega, Maslinda, Winarti, Susi, Fatmawati, Lidya Aswani, Nurjannah, Suaibah, Sugiana, Suriyani, Syamsiah, Siti Chotimah, Nuraini, Zakiah, Nurmiati, Salamah, Khairunnisa, Lusi, Mahani, Asniawati, Rensina, Eli, dan Nurhayati Bancin, merupakan siswi perempuan dengan berbagai gaya dan penampilan saat berada di lingkungan sekolah. Aku mengawali cerita ini dengan perasaan yang sangat bahagia. Yah, hampir puluhan tahun tidak lagi bertemu dengan teman-teman sekelas ku. Mereka sebagian sudah memiliki kehidupan dan keluarga masing-masing.

Pukul 07:30 wib, seperti biasa bel sekolah berbunyi dengan diinstruksikan guru piket, seluruh siswa berbaris di depan ruang kelas. Satu per satu siswa memasuki ruang kelas. Aku berada pada posisi barisan pertama, maklum tubuh dan badanku yang kecil harus tetap berada di bagian depan. Terkadang aku merasa tidak nyaman jika setiap berbaris harus berada di baris paling depan. Setelah masuk ke ruang kelas, guru pun menginstruksikan kepada ketua kelas agar segera memberi aba-aba untuk berdoa. Pagi itu, di jam pertama Pak Legiso akan memberikan materi pelajaran bahasa inggris. Semua terlihat tenang, tetapi ada juga yang merasa khawatir jika disuruh ke depan untuk melafalkan kosa kata bahasa inggris. Nisa, satu di antara teman kelasku yang merasa khawatir mendapat giliran untuk melafalkan kosa kata yang ditulis di papan tulis.

"Nisa, come here. Please, reading vocabullary on the black board." Ucap Mr. Legiso, guru bahasa inggris. Sontak temanku Nisa, seakan pucat pasi ketika dirinya ditunjuk guru bahasa inggris untuk membaca beberapa kosa kata yang tertulis di papan tulis. "Anu, Mr. Legiso, I can not baca dengan fasih, kosa kata di black board." Semua yang berada di ruangan kelas tertawa mendengar jawaban dari Khairunnisa. Aku melihat beberapa teman ada yang menguasai materi bahasa inggris, di antaranya Salyuddin dan Ade Surya yang keseharian mereka pernah belajar di pondok pesantren. Temanku yang lain, Maniseh, Mefrida, Mega, Maslinda juga sangat antusias belajar. Aku sendiri sebenarnya tidak terlalu mahir berbahasa inggris, namun karakter guru yang tenang saat memberikan materi pelajaran tersebut yang menyebabkan kami tidak tegang saat belajar.

Waktu peralihan jam pelajaran bahasa inggris pun selesai, Nisa dengan keceriannya berusaha untuk tetap tenang. "Syukur sudah habis waktu belajar bahasa inggris, keringat dingin pun rasanya disuruh ke depan oleh Pak Legiso. Sudah awak, nggak ngerti bacanya, eh malah disuruh menerjemahkan pula lagi." Ucap Nisa kepada Salamah, teman sebangkunya. "Tapi, Kau Nisa saat di depan percaya diri kok, kalau aku yang disuruh bisa jadi ke kamar mandi terus nanti." Sambil tertawa kecil, Salamah merapikan buku catatan bahasa inggris ke dalam laci meja. Dari kejauhan terlihat guru berikutnya dengan berkacamata memasuki ruangan kelas dengan mengucap salam. "Assalamualaikum, hari ini kita akan membahas materi tentang puisi, Bapak akan meminta kalian membacakan puisi di depan dan yang lain harus memperhatikan dengan saksama." Itulah arahan Pak Lilik, wali kelas yang masuk tanpa ada komentar. Mefrida yang memiliki vokal yang menggelegar berusaha membaca puisi dengan totalitas. Giliran Mulyadi membaca puisi, seisi ruang kelas terasa mendapat hiburan. Dengan gayanya yang kocak, Mulyadi mengucapkan intonasi dalam puisi sesuai interpretasi yang dipahaminya.

Aku tersenyum melihat beberapa teman-temanku semangat saat membaca puisi. Meskipun sebenarnya, sebagian lainnya tidak begitu tertarik dengan membaca puisi. Mungkin, karena Pak Lilik pada saat itu ditugaskan sebagai wali kelas, sehingga seluruhnya harus tampil di depan tanpa ada yang tersisa. "Wah, hebat penampilannya Mefrida ya, kemungkinan dia akan ikut dalam ajang lomba baca puisi yang akan digelar beberapa hari ke depan di Depag Lubuk Pakam." Ucapku kepada Maniseh, sahabat terdekat Mefrida. "Yah, aku juga melihat ada bakat di diri Mefrida. Semoga ia dan kau Li dapat mewakili sekolah nantinya." Ucap Maniseh, sesaat mengobrol denganku. Bel pun berbunyi menandakan jam istirahat. Tampak Nuraini dan Maslinda sedang  menikmati makanan sambil mengobrol-ngobrol. 

"Linda, enak banget makanannya, kamu beli di kantin ya?" Nuraini menghampiri Maslinda yang sedang menikmati gorengan. "Oh ya Nur, tadi aku beli gorengan di kantin. Neh ambil, kalau kamu suka." Sambil memberikan makanan yang dibeli dari kantin, Maslinda menanyakan tugas pelajaran bahasa arab. "Nur, kau sudah selesai tugas yang diberikan Pak Haji yang materinya tentang Muhaddatsah." Tanya Maslinda kepada Nuraini. "Oh, kalau aku sih masih belum selesai, sepertinya kita bisa tanya ke Ije, dia pasti sudah selesai. Maklumlah untuk urusan bahasa arab, Ije dapat menyelesaikannya." Jawab Nuraini sambil membuka lembaran buku latihan dan meletakkannya di atas meja. Lalu tanpa disangka-sangka muncul Zakiah, Mega, dan Syamsiah menghampiri Maslinda dan Nuraini. 

Pada jam pelajaran bahasa arab, Zakiah menjadi bintangnya. Dengan lancar dia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan Pak Khairuddin. "Aku harus banyak belajar dari mu Je, bahasa arabmu sangat lancar. Senang jika dapat lancar berbicara dengan bahasa arab. Apalagi jika kelak dapat menunaikan ibadah haji, tentunya ini sesuatu yang tak ternilai harganya." Ungkap Mega di saat Zakiah mendapat nilai sempurna. "Aku juga merasa perlu untuk belajar lebih giat lagi Mega, karena jika kelak aku menjadi seorang ibu, pelajaran bahasa arab ini akan sangat bermanfaat untuk mendidik generasi selanjutnya. Selain itu dengan bahasa arab ini, kita juga dapat lebih memahami kitab suci Alquran." Syamsiah menutup obrolan hingga bel berbunyi menandakan waktu pelajaran pun berakhir.

Keesokan harinya, Ade, Teguh, Salyuddin, Burhan, dan Andi datang sedikit terlambat. Maklumlah mereka berlima selalu kompak dan sengaja terlambat untuk masuk kelas. "Aku agak malas untuk mengikuti pelajaran hari ini. Pasti yang disampaikan itu-itu melulu." Ucap Salyuddin membuka pembicaraan. "Yah sebenarnya yang kita lakukan ini salah, tapi gimana juga pelajaran hari ini sangat membosankan. Lebih enak lagi di sini, kita bisa ngobrol-ngobrol sambil menghisap sebatang rokok." Burhan mencoba untuk menikmati sebatang rokoknya dengan puntung rokok yang berada di atas asbak. "Aku bersama Ade dan Andi berencana untuk tidak masuk kelas. Kalian tahu, hari ini mata pelajaran dari Pak Sabar, beliau harus sabar melihat kita tidak berada di ruangan. Di ruangan kelas tentunya ada Supriadi, Hakim, dan Ali. Mereka sudah cukup untuk mewakili kita di kelas." Ucap Teguh di depan Ade, Andi, Burhan, dan Salyuddin. Di saat mereka mengobrol, tetiba Mulyadi datang menghampiri, lalu berkata:"Lho kalian kok di sini, bel masuk kelas sudah berbunyi. Bisa ketahuan kalian jika duduk-duduk di sini, kena razia pula nanti." Sambil mengingatkan keempat temannya, Mulyadi pun ikut bergabung dan lupa untuk masuk ruangan kelas.

Di dalam ruangan kelas seperti biasa, Pak Sabaruddin memberikan materi pelajaran dengan penuh kesabaran. Wajahnya yang terlihat sayu seolah ingin mengingatkan agar materi yang diajarkannya dapat memberikan manfaat kepada anak didiknya. "Lihat Jannah, Pak Sabar dengan sabarnya terus mengingatkan kepada kita agar selalu menerima segala ujian dengan penuh kesabaran." Suriyani melirikkan matanya ke arah Hakim dan Supriyadi yang asyik bercerita, tanpa peduli mendengar materi yang disampaikan Pak Sabar. "Ih, mereka berdua inilah dari tadi tidak mau mendengarkan materi yang diajarkan guru. Jangan sampai habis kesabaran Pak Sabar melihat kalian berdua. Supri dan Hakim, dengarkan dahulu guru, jangan cuma main-main saja di kelas." Perintah Nurjannah pun didengar Supriyadi dan Hakim, mereka akhirnya diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian materi dari Pak Sabar.

Di akhir jam pelajaran Asniawati dan Maniseh, dengan tekunnya mengerjakan materi pelajaran matematika. Mereka berdua terlihat sangat antusias belajar. Maniseh dan Asniawati sangat tertarik dengan pelajaran matematika sehingga mereka dengan mudah memahami ilmu Faraid, yaitu ilmu yang menelaah tentang pembagian harta warisan. "Aku lihat kalian berdua tekun belajar ya, semoga ke depannya kalian dapat meraih cita-cita nantinya." Ucapku kepada Maniseh dan Asniawati. "Ah, kau Li, biasa saja kok. Kami berdua sedang berusaha menyelesaikan materi Matriks. Ternyata jika kita pelajari dengan serius dapat dengan mudah kita ketahui penyelesaiannya." Jawab Maniseh dengan senyuman. Aku pun seakan tidak berhenti untuk melihat teman-teman yang lain. Mereka dengan kemampuan dan keahlian masing-masing berusaha belajar semaksimal mungkin. Suaibah dan Hakim memiliki suara yang merdu dalam melantunkan ayat suci Alquran, Lidya dan Siti Khotimah merupakan dua sahabat yang selalu jauh dari menggosip, mereka berdua cerminan siswa yang lebih memilih untuk tidak berbuat masalah. Hampir semua teman-teman yang sudah lama tersimpan di dalam ingatanku, kini telah berkeluarga. Bahkan mereka sudah menikmati kesuksesan dari kesungguhan mereka belajar di masa sekolah. Aku pun tersentak, sesaat melihat ke arah dinding ruang tamu. Ternyata aku masih terduduk di atas kursi sambil sesekali melihat gawai, foto kenangan yang dikirim teman-temanku melalui pesan whatsapp.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun