Kasus yang membelit para pejabat, direksi, politikus, dan artis di negara tercinta ini masih menjadi trending topik. Tidak sedikit dari mereka yang terjebak akan gemerlapnya pundi-pundi harta, baik bernilai rupiah hingga dolar Amerika. Tidak lagi mengenal akan tingginya moral, bahkan sampai harus terjerumus ke tindakan kriminal.
Sungguh miris, jika gaung pendidikan karakter dikumandangkan pada institusi pendidikan, harus tergerus dengan karakter negatif segelintir orang  yang dijadikan publik figur.
Di negara-negara maju dan juga negara berkembang lainnya, budaya malu untuk melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah mulai hilang terkikis. Berbeda dengan negara berkembang seperti di republik ini, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah menjadi tradisi bahkan diibaratkan sudah mendarah daging. Semakin berat hukuman yang diberikan maka semakin bertambah oknum yang bermain di lingkaran KKN.
Jika kita mengamati kondisi masyarakat yang berlatar belakang kedaerahan, sepertinya kasus-kasus yang melibatkan publik figur semakin meluas. Publik figur yang notabene merupakan putra daerah tertentu, setidaknya masih memegang teguh nilai-nilai moral dari budaya daerah masing-masing.
Nilai-nilai moral yang apabila dilanggar, tentunya akan mendapatkan sanksi adat sehingga memungkinkan sedikit orang yang melakukan tindakan tersebut karena akan mempermalukan diri sendiri, keluarga, dan juga daerahnya.
Budaya malu hendaknya tetap menjadi cerminan diri bagi siapa saja yang merasa dirinya terlahir di negeri ini. Budaya malu ini, lebih mengarah pada nilai-nilai sosial, politik, religius, dan pendidikan. Individu yang sudah menanamkan budaya malu di dalam jiwanya, akan terimbas pada aktivitas kesehariannya. Sehingga apabila terjadi pelanggaran maka akan berdampak pada pembunuhan karakter diri sendiri.
Kita dapat melihat secara jelas, beberapa negara maju seperti Arab Saudi, Jepang, Brunei Darussalam, menerapkan budaya malu pada setiap diri pribadi masyarakatnya sehingga sangat sedikit terjadi KKN.Â
Di samping sanksi yang diberikan juga sangat berat. Wajar jika negara-negara tersebut kondisi kesejahteraan masyarakatnya terpenuhi. Hal ini tidak terlepas dari budaya malu yang dimiliki masyarakatnya. Mereka malu untuk  mengebiri hak orang lain, malu menggunakan waktu bekerja dengan kegiatan shoping, bermain game, hingga bergunjing.
Berbeda dengan kondisi di negeri ini, budaya malu hanya ditempatkan pada saat media akan mempublikasikan keadaan oknum yang tertangkap basah melakukan tindakan kriminalitas. Wajah disamarkan dengan topeng atau ditutupi kain , kepala tertunduk seolah-olah tersadar akan kecerobohan yang telah dilakukan. Bahkan ada juga yang menganggap santai kasus yang dialaminya, sehingga budaya malu pun sudah hilang dari dirinya.
Namun, segelintir oknum yang sudah kurang peka akan budaya malu bukanlah hambatan untuk kita yang masih beranggapan jika malu itu bagian dari iman.
Malu, jika kita tidak dapat berbuat kebaikan. Malu, apabila kita tidak mampu menjalankan roda pemerintahan sesuai amanah Undang-Undang dan janji sumpah kepada rakyat negeri ini. Malu, jika terus berbohong dan ingkar janji. Kita akan terus menjadi publik figur jika mampu menanamkan budaya malu pada keluarga, masyarakat, hingga dalam berbangsa dan bernegara.