Mohon tunggu...
Aliea AqshalinaApriliani
Aliea AqshalinaApriliani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hukum Pidana Islam

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencari Keadilan dalam Cengkraman Kekerasan Seksual

27 Juni 2022   07:30 Diperbarui: 27 Juni 2022   07:37 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan seksual sepertinya sudah bisa dikatakan sebagai pandemi bagi perempuan. Kebebasan kita sebagai perempuan kini patut di pertanyakan, kemanakah keadilan bagi kita? Sejauh mana keamanan kita ketika berada diluar rumah? Rasanya, perempuan zaman sekarang kembali ke zaman dimana perempuan hanya bisa terkungkung di dalam rumah.

Dari beberapa kasus yang sudah terjadi, perempuan yang mengalami kekerasan seksual ini lebih banyak diam, tidak berani bercerita atas kejadian yang dia alami karena dianggap sebagai aib pribadi maupun keluarganya, sehingga kekerasan seksual lebih sulit untuk ditangani. 

Padahal, dari data-data yang telah tercatat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tercatat 338.496 kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG), Kekerasan verbal termasuk pelecehan seksual dan Kekerasan fisik. 

Data ini di peroleh dari hasil pengaduan perempuan kepada beberapa pihak, diantaranya sebanyak 3.838 kasus di laporkan ke Komnas Perempuan, 7.029 laporan di Lembaga Layanan dan 327.629 kasus laporan ke Badan Peradilan Agama (BADILAG).

Dapat kita lihat, jika semakin banyak perempuan yang berani untuk melapor maka semakin banyak kasus pelecehan seksual yang terungkap serta kenyataan pelaku pelecehan seksual semakin menjadi-jadi dan biadab untuk melakukan perilaku tercela ini dapat segara ditindaklanjuti.

Mirisnya beberapa pelaku kekerasan Berbasis Gender (KBG) dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, anggota TNI dan POLRI yang seharusnya menjadi pelindung dan panutan bagi orang banyak. Karena memiliki jabatan, kekuasaan patriarki dan relasi, 85% korban tidak mendapatkan keadilan hukum untuk hingga proses penyelesaian kasus perkaranya tidak berhasil, pernyataan yang diberikan malah disangkal, korban di paksa untuk bungkam dan malah diminta ke luar kota. Hanya 12% perkara selesai secara hukum dan 3% perkara seleasi dengan cara non-hukum.

Selama 6 tahun sudah, perjuangan mendapatkan payung hukum atas hak aman dengan di sahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UU TPKS), memasukkan 9 bentuk kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual. 

Lahirnya UU TPKS ini dapat melindungi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual serta menindak pelaku kekerasan seksual dengan seadil-adilnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun