Mohon tunggu...
Jhon Qudsi
Jhon Qudsi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Media Sosial

Eksistensi suatu peradaban di bentuk oleh tulisan yang melahirkan berbagai karya i buku

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membaca Karya Novia Respati: Ketika Bulan Mendengar tapi Tak Menjawab

1 Februari 2025   22:42 Diperbarui: 1 Februari 2025   22:42 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bulan adalah simbol keheningan. Ia mendengar lebih banyak daripada yang kita kira, tetapi tak pernah membocorkan rahasia. Di dalam puisi Bulan dan Gula, Karya Novia Respati memperlakukan bulan bukan sekadar benda langit yang menggantung di atas kepala, melainkan sebagai teman bicara yang menyerap cerita. Ada sesuatu yang ganjil dalam cahaya yang meredup, seakan-akan bulan sendiri sedang menanggung sesuatu.

Sang penyair membagi rahasia pada bulan---sebuah dialog yang tak terdengar, tetapi mengandung makna. Ada bahagia yang terselip lara, ada lamunan yang tak bertepi. Ini bukan sekadar gambaran perasaan pribadi; ini adalah pengakuan tentang bagaimana kebahagiaan seringkali memiliki bayangannya sendiri. Dalam sepi, manusia berdamai dengan ingatan, mengolah luka seperti seorang tukang gula yang menakar manis dalam kadar yang pas.

Lalu, ada perjalanan ke pabrik-pabrik rasa: gula, garam, cuka, dan merica. Sebuah metafora yang menarik. Hidup tidak hanya manis, tetapi juga asin, asam, dan pedas. Kita hidup dengan berbagai rasa, kita mencampurnya, mengaduk-aduknya, mencari takaran yang tepat. Namun, pertanyaannya: untuk siapa?

Jawabannya terungkap di baris terakhir: bukan untuk bulan, tetapi untuk "dia." Ada seseorang yang diam-diam diceritakan pada bulan. Seseorang yang, entah sadar atau tidak, menjadi alasan dari pencarian rasa-rasa itu. Ini adalah puisi tentang rindu, tentang seseorang yang ingin memberi, tetapi barangkali tak tahu bagaimana caranya menyampaikan.

Di sinilah ironi kecil yang terselip dalam larik-lariknya. Kita sering merasa perlu mengukur dan menakar segalanya---manis, asin, asam, pedas---untuk seseorang yang kita cintai. Namun, apakah benar cinta bisa diatur dalam takaran seperti itu? Atau justru, sebagaimana bulan yang sekadar mendengar tanpa menghakimi, cinta adalah sesuatu yang membiarkan dirinya hadir tanpa perlu diracik terlalu lama?

Barangkali, sebagaimana bulan yang tertawa, puisi ini mengajak kita untuk tidak terlalu repot mencari jawabannya. Sebab, sebagaimana hidup, puisi juga bekerja dalam keheningan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun