Sejak pertama kali menjejakkan kaki di Pondok Pesantren, Bogel sudah terkenal. Bukan karena ketekunan belajarnya. Bukan pula karena suaranya yang merdu saat mengaji. Tapi karena satu hal yang jarang dimiliki santri lain: kemampuannya membantu keluarga pesantren dalam segala urusan.
Bogel bisa jadi tukang angkat galon, tukang ketik surat, tukang servis kipas angin yang mendadak mogok di tengah hari terik, sampai tukang antar makanan. Apa pun yang perlu dilakukan, Bogel selalu ada.
Orang-orang di pesantren bilang, "Bogel ini santri barokah. Tangannya ringan." Ada pula yang bercanda, "Bogel ini pasti punya wasilah khusus sama Tuhan. Doanya makbul tapi ia tidak menyadari, soalnya dia selalu membantu jalannya syiar agama."
Bogel sendiri tidak pernah merasa begitu. Baginya, membantu itu ya membantu. Tidak ada urusan dengan barokah atau tidak. Tapi kata-kata itu sering membuatnya berpikir.
Suatu sore, saat Bogel sedang mengantarkanÂ
mengangkat karung beras ke dapur makanan keluarga dalem, Kiai memanggilnya.
"Bogel, duduk dulu di sini," kata Kiai sambil menunjuk bangku di teras ndalem.
Bogel buru-buru mengusap keringat di dahinya. Dia duduk dengan posisi setengah siap berdiri, takut-takut ada tugas lain yang harus dikerjakan.
Kiai tersenyum. "Orang-orang bilang kamu ini santri barokah. Menurutmu?"
Bogel menggaruk kepala. "Entahlah, Kiai. Saya cuma bantu-bantu saja."
Kiai tertawa kecil. "Kamu tahu, Bogel? Kadang orang yang paling dekat dengan Tuhan bukan yang paling rajin mengaji, bukan pula yang paling fasih berceramah. Tapi yang paling sering menolong orang lain dengan ikhlas."