Probolinggo - Di bawah terik matahari siang, Joko berdiri sigap di balik gerobak es dawetnya, melayani pelanggan yang terus berdatangan. Dengan cekatan, ia menuangkan cairan cendol ke dalam gelas kaca bening, memadukan santan kental dan gula jawa pekat yang menjadi ciri khas es dawet Solo. Di sampingnya, sang adik, Tri, turut membantu. Tri biasanya berjualan keliling di area Kraksaan menggunakan gerobak pancal becak. Jika es dawet Joko habis, Tri mengambil alih berjualan di Jl. Raya Panglima Sudirman, lokasi yang kerap menjadi pusat kesibukan mereka.
Joko, tak bisa menyembunyikan kebanggaannya terhadap gerobak sederhana yang telah menjadi sumber penghidupan keluarganya. Ketika ditanya soal awal mula usahanya pada Minggu siang (13/11/2024), Joko bercerita, "Awalnya dulu sempat buka usaha lain," ujarnya sambil mengaduk cairan cendol di ember besar. "Tapi, ya, belum rezeki. Terus adik saya ikutan jualan es dawet." Baginya, usaha es dawet ini bukan sekadar bisnis, melainkan warisan rasa yang tetap bertahan meski diterpa berbagai tantangan, termasuk perubahan tren kuliner.
Satu gelas es dawet dihargai lima ribu rupiah, terjangkau namun penuh risiko karena harga bahan baku yang fluktuatif. "Kalau soal harga, besok-besok bisa berubah," kata Joko dengan nada serius. "Pasar enggak pasti, semua bahan baku naik-turun." Gula jawa, cendol, dan santan kental menjadi kunci utama menjaga cita rasa. "Yang membedakan itu rasa khasnya," ujarnya bangga. "Dari santan yang kental, cendolnya kenyal, gula jawa asli, bukan campuran tebu."
Menjaga kualitas bahan, menurut Joko, bukan perkara mudah. "Gula sekarang macam-macam, Mas," katanya. "Kalau enggak tahu kualitasnya, hasilnya enggak akan memuaskan." Joko selalu memastikan ia tahu asal-usul bahan baku yang digunakan, sebuah pelajaran yang ia pelajari dari pengalaman bertahun-tahun berjualan di tepi jalan.
Meski musim panas membawa rezeki lebih, musim hujan menjadi momok bagi bisnis mereka. "Kalau musim panas, ya laris. Tapi musim hujan, penjualannya berkurang jauh," kata Joko, tidak bisa menyembunyikan keprihatinannya. Itulah sebabnya ia enggan memperbesar usahanya dengan menyewa tempat permanen. "Mahal, Mas, kalau ngontrak tempat gede. Enggak nututi. Ini kan khas jualan rakyat, di pinggir jalan, sederhana," tuturnya pasrah.
Namun, di balik segala kesulitan, Joko tetap bersyukur. "Ya, alhamdulillah, pelanggan tetap ada, meski usaha ini kecil-kecilan saja," katanya sambil tersenyum. Di saat yang sama, Tri memanggilnya, mengisyaratkan gelombang pelanggan baru yang mulai mengantre. Bagi Joko dan Tri, es dawet mereka bukan sekadar penghidupan, melainkan simbol perjuangan dan rasa syukur yang mereka rawat setiap hari, satu gelas es dawet khas Solo yang penuh cinta.(Jhon Qudsi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H