Mohon tunggu...
Jhon Qudsi
Jhon Qudsi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Media Sosial

Eksistensi suatu peradaban di bentuk oleh tulisan yang melahirkan berbagai karya i buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Kentut dan Perdebatan Bau

4 Oktober 2024   23:03 Diperbarui: 4 Oktober 2024   23:12 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri 

Sejak zaman dahulu kala, manusia telah menciptakan berbagai perdebatan, mulai dari filsafat eksistensial hingga politik internasional. Namun, satu hal yang jarang dibahas, meski tak kalah pentingnya, adalah: kentut. Mungkin karena topik ini berada di wilayah dubur yang tersembunyi dan tabu, tapi siapa tahu, masing-masing dari kita mungkin memiliki ciri khas tersendiri dalam hal kentut, dari aroma hingga suara. Bahkan, kalau dipikirkan lebih dalam, bau kentut bisa mencerminkan makanan yang kita konsumsi---sebuah cerminan eksistensial sehari-hari.

Kemarin, di suatu tempat yang tak akan disebutkan namanya, terjadi perdebatan sengit tentang kentut. Bukan karena aromanya yang mengganggu, tetapi karena ego masing-masing yang mengklaim bahwa kentut mereka yang paling menyengat. "Kentutku lebih tajam dari kentutmu," seru salah satu debater, diikuti oleh lawannya, "Tidak! Kentutku adalah master dari segala aroma." Akhirnya, mereka sepakat untuk menahan kentut mereka. Namun, dalam sebuah keputusan diplomatis, mereka setuju untuk saling mencium kentut satu sama lain. Hasilnya? Tidak ada yang menang. Semua kentut itu sama, berasal dari dubur yang sama, dengan satu perbedaan: suara yang dihasilkan. Karena pada dasarnya, kentut itu plural. Setiap individu memiliki hak untuk mengeluarkan aroma khasnya, layaknya kebebasan berbicara dalam demokrasi.

Tentu saja, di era modern ini, kita hidup dalam masyarakat yang sangat menghargai perdebatan. Namun, apa yang terjadi ketika kentut menjadi bahan perdebatan? Mungkinkah ini bentuk demokrasi baru? Demokrasi kentut. Bukan siapa yang paling sering kentut, tetapi siapa yang kentutnya paling bau dan menyengat. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa bau kentut bisa dipolitisasi. Bayangkan dalam rapat RT atau bahkan tingkat presiden, seorang pemimpin kentut di tengah rapat penting. Apa dampaknya? Kurang percaya diri bisa muncul, harga diri turun, dan politik berubah menjadi urusan dubur.

Namun, jangan salah. Kentut adalah bagian dari nikmat Tuhan yang sering kita lupakan untuk disyukuri. Betapa berharganya bisa kentut tanpa rasa sakit atau perlu operasi. "Orang yang tidak bisa kentut, tarifnya mahal," kata seseorang yang bijak dalam perdebatan ini. Dan benar, kembung karena kentut yang tertahan bisa merusak kesehatan, bahkan dompet.

Lantas, mengapa orang selalu sibuk dengan kentut orang lain? Bukankah lebih mudah menutup hidung dan telinga? Mengapa kita tidak pernah puas dengan bau kentut kita sendiri dan lebih suka menuduh orang lain sebagai pelaku? Ini membawa kita pada pertanyaan besar dalam politik dan demokrasi modern: Apakah kita lebih sibuk menghakimi kentut orang lain daripada memperbaiki bau kita sendiri?

Mungkin sudah saatnya ada lembaga yang mengatur urusan kentut ini. Undang-undang perkentutan bisa jadi solusi. Bayangkan, ada lembaga yang memantau tingkat kebahayaan dan kesopanan kentut dalam ruang publik. Apa yang menjadi standar kentut santun? Apakah berdasarkan volume suara, bau, atau durasinya?

Namun, mari kita akui satu hal. Kentut adalah bagian dari kehidupan, dan mungkin itulah bentuk kebebasan yang paling jujur. Ketika kita menahan kentut di tengah keramaian, hanya kita dan Tuhan yang tahu. Dalam hal ini, kita mungkin sedang menjalani ritual syukur yang tak terucapkan---syukur atas kemampuan untuk melepaskan tekanan tanpa harus mempolitisasi bau.

Akhirnya, jika demokrasi adalah tentang mendengarkan suara rakyat, maka suara kentut adalah metafora yang sempurna. Setiap orang punya hak untuk kentut. Tapi ingat, ketika bau itu muncul, biarlah kita lebih bijak. Sebab, pada akhirnya, kita semua sama: kentut berasal dari dubur yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun