Mohon tunggu...
Jhon Qudsi
Jhon Qudsi Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Media Sosial

Eksistensi suatu peradaban di bentuk oleh tulisan yang melahirkan berbagai karya i buku

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Tentunya! Bagaimana dengan Judul "TPR: Dari Harapan Rumah Impian hingga Tabungan Penderitaan Rakyat"

8 Juni 2024   19:18 Diperbarui: 8 Juni 2024   19:43 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kompasiana.com - "Tabungan Perumahan Rakyat (TPR) adalah program yang dirancang oleh pemerintah untuk membantu masyarakat memiliki rumah. Namun, tak sedikit yang merasa bahwa TPR lebih mirip dengan Tabungan Penderitaan Rakyat. Mengapa demikian? Mari kita simak dengan santai dan sedikit humor.

Pertama-tama, mari kita bicarakan tentang persyaratan TPR. Seperti halnya mengurus visa ke luar negeri, persyaratan TPR bisa membuat siapa saja merasa seperti sedang menyelesaikan skripsi. Anda butuh KTP, NPWP, slip gaji, surat keterangan kerja, dan mungkin juga surat keterangan bebas hutang dari semua tetangga. Persyaratannya begitu rumit hingga rasanya seperti Anda sedang melamar menjadi astronot, padahal cuma mau punya rumah.

Mengajukan TPR seperti mengikuti lomba maraton yang tidak pernah ada garis finish-nya. Anda harus mengantri berjam-jam, bahkan berhari-hari, hanya untuk mendapatkan formulir. Setelah itu, antrian untuk verifikasi data, antrian untuk survei lokasi, antrian untuk verifikasi ulang, dan antrian untuk menunggu nasib apakah Anda layak atau tidak. Sungguh, ini adalah maraton kesabaran yang luar biasa.

Tidak hanya itu, setelah semua proses antrian dan verifikasi selesai, Anda akan dihadapkan pada kenyataan harga rumah yang masih terjangkau bagi segelintir orang saja. TPR sering kali menawarkan rumah di lokasi yang jauh dari pusat kota, mungkin lebih dekat ke antah-berantah daripada ke kantor Anda. Dengan harga yang terjangkau tersebut, Anda akan mendapatkan rumah mungil dengan halaman sebesar sapu tangan. Di sana, Anda bisa merasakan romantisme hidup minimalis ala kartun Jepang, tapi minus kenyamanan.

Bagi mereka yang beruntung mendapatkan rumah dari TPR, perjuangan belum berakhir. Kini, saatnya memasuki fase kredit. Fase ini bisa berlangsung selama dua dekade atau lebih. Bayangkan saja, Anda harus menyisihkan sebagian besar gaji setiap bulan selama 20 tahun. Dalam jangka waktu tersebut, Anda bisa jadi sudah menyekolahkan anak, bahkan menikahkan anak Anda, tetapi cicilan rumah masih saja berjalan. Lucunya, dalam masa tersebut, kemungkinan rumah Anda mungkin sudah mengalami renovasi berkali-kali karena bocor, rusak, atau lapuk dimakan usia, tapi cicilan tetap setia menemani.

Kenyataan pahit lainnya adalah tentang maintenance atau perawatan rumah. Mengingat harga murah, jika kualitas bangunan kadang tidak sebanding. Bocor di sana-sini, tembok retak, pintu rusak, adalah hal yang biasa. Jadi, setelah mengeluarkan uang untuk cicilan, Anda juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk perbaikan. Di sini, TPR berubah menjadi Tabungan Penderitaan Rakyat karena Anda harus merogoh kantong lebih dalam lagi.

TPR seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat untuk memiliki hunian yang layak dan terjangkau. Namun, dengan segala prosedur yang rumit, harga yang masih tergolong tinggi, lokasi yang kurang strategis, dan biaya perawatan yang tak terduga, program ini malah terasa seperti penderitaan bagi sebagian orang. Seperti sebuah kisah lucu tapi menyedihkan, TPR seakan menjadi bukti bahwa niat baik kadang terhalang oleh birokrasi dan realitas di lapangan.

Mari kita berandai-andai. Mungkin bisa dengan tertawa getir dan bersabar, berharap TPR tidak selalu identik dengan Tabungan Penderitaan Rakyat. Semoga suatu hari nanti, nama TPR benar-benar mencerminkan Tabungan Perumahan Rakyat yang sesungguhnya, bukan parodi yang menyedihkan."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun