Setelah saya telusuri lagi, persoalannya bukan Cuma itu saja. sebab saya juga sering menjumpai guru yang bertugas di dekat kota, masih ada sinyal telekomunikasinya, masih ada listriknya dan bisa ke kota kapan saja  toh mereka juga jarang mengajar? Lalu apa masalahnya? Rupanya mental sang guru.
Kenapa dengan mental? Sebelum bicara soal mental kita kembali lagi ke rezim orde baru, atau pemerintahan Soeharto. Zaman dulu rata-rata guru ditugaskan di pedalaman, dan jauh dari tempat kelahiran mereka. Toh mereka juga betah-betah saja, bahkan jarang sekali saya mendengar ada guru yang meninggalkan tempat tugas, yang banyak mereka malah menetap di tempat tugas dan menjadi penduduk di sana? Saya tahu itu, sebab bapak saya juga dulunya guru yang ditugaskan di pedalaman Kalimantan Barat.
Soal gaji? Hehehe jangan ditanya deh, gaji guru sekarang sudah jauh lebih besar, gaji pokok, belum lagi tunjangan, sertifikasi gaji 13 dan lain sebagainya, bisa mencapai Rp 7 jutaan. Kalau guru zaman dulu paling banter hanya Rp 100 ribu plus beras satu karung. Toh mereka juga betah? Lalu apa masalahnya?
Kalau kembali soal mental mungkin inilah pokok permasalahannya. Jadi solusinya jika ingin mencerdaskan anak bangsa jalan satu-satunya adalah memperbaiki kualitas gurunya, kalau guru sudah baik saya yakin pemerintah tidak perlu sibuk-sibuk bikin program yang macam-macam, apalagi sampai membuat standar kelulusan yang terlampau tinggi. Sebab percuma saja, nilai tinggi kalau hasilnya dari contekan masal. Ini mungkin sekedar saran dari saya yang masih sangat awam terhadap dunia pendidikan, saya juga pengamat bukan akademisi apalagi aktifis, saya Cuma penyambung lidah masyarakat yang sering mendapat keluhan soal ketiadaan guru. Salam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H