Politik dan sepak bola sering kali menjadi analogi yang menarik. Sepak bola adalah olahraga yang sarat dengan strategi, taktik, dan stamina, sama seperti politik, yang juga melibatkan berbagai aktor untuk mencapai kemenangan. Kedua dunia ini, meskipun berbeda dalam banyak hal, memiliki kemiripan yang mendasar: keduanya bergantung pada kejujuran, keterampilan, dan kompetisi yang sehat. Namun, apa yang terjadi ketika permainan yang harusnya adil dan penuh tantangan berubah menjadi permainan yang penuh kecurangan? Dalam sepak bola, istilah "sepak bola gajah" merujuk pada pertandingan yang sudah diatur hasilnya sebelum dimulai, di mana ada pengaturan skor, wasit yang berpihak, dan strategi manipulatif untuk menentukan pemenang. Dalam politik, fenomena ini sering disebut sebagai "politik sepak bola gajah," ketika kontestasi politik seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah diatur dengan tidak adil dan tidak demokratis.
Fenomena "sepak bola gajah" dalam Pilkada menjadi momok yang mengancam kualitas demokrasi. Pengaturan hasil pemilu, penyelenggara yang tidak netral, dan manipulasi kekuasaan untuk kepentingan kandidat tertentu adalah bentuk nyata dari penyelewengan demokrasi. Ini adalah situasi yang merusak kepercayaan publik terhadap proses politik, menghancurkan integritas pemilu, dan melahirkan pemimpin yang tidak berkompeten. Dalam artikel ini, akan diuraikan lebih lanjut mengenai bagaimana praktik "politik sepak bola gajah" terjadi dalam Pilkada, dampaknya terhadap demokrasi, serta aturan hukum yang ada untuk mencegah hal tersebut.
Seperti dalam sepak bola gajah, pengaturan skor dalam Pilkada bisa terjadi melalui berbagai cara. Salah satu yang paling umum adalah penyelenggara pemilu yang tidak netral. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu, bersama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas mengawasi jalannya pemilu, seharusnya berfungsi sebagai "wasit" yang adil dan independen. Namun, ketika ada indikasi bahwa penyelenggara pemilu berpihak pada salah satu kandidat, baik melalui manipulasi hasil suara atau tidak menindak pelanggaran secara adil, ini sama saja dengan mengatur hasil pertandingan. Pengaturan skor ini merusak prinsip dasar demokrasi, yakni keadilan dan persaingan yang setara.
Selain itu, pengaturan skor juga dapat terjadi melalui penggunaan kekuatan politik dan aparat pemerintah untuk memobilisasi dukungan kepada kandidat tertentu. Misalnya, mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN), perangkat desa, dan bahkan aparat keamanan untuk mendukung kampanye salah satu calon. Ini adalah pelanggaran serius terhadap netralitas ASN, yang seharusnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Ketika ASN dimobilisasi untuk mendukung kandidat tertentu, hal ini menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, di mana kandidat yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya negara akan lebih diuntungkan.
Dalam politik sepak bola gajah, kongkalingkong antar partai politik juga menjadi salah satu bentuk manipulasi. Kolusi ini dapat terjadi ketika partai-partai politik bersepakat untuk "mengatur permainan," baik melalui pengaturan pencalonan ataupun dukungan yang sebenarnya telah ditentukan hasilnya. Fenomena semacam ini mencerminkan lemahnya proses demokrasi di tingkat partai politik, yang seharusnya menjadi wadah utama bagi proses seleksi kepemimpinan yang kompetitif.
Kolusi ini dapat diatur melalui kompromi politik atau aliansi yang tidak murni, di mana partai-partai politik bekerja sama untuk memaksimalkan kekuatan mereka tanpa memperhatikan pilihan rakyat. Dalam konteks Pilkada, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengatur tentang hak-hak partai politik dalam mencalonkan kandidat, namun juga memberikan ruang bagi koalisi strategis. Meski koalisi ini legal, apabila digunakan untuk memanipulasi hasil pemilu, ini bisa dikategorikan sebagai politik "sepak bola gajah."
Mobilisasi ASN dan aparat pemerintah menjadi bentuk lain dari manipulasi politik. Dalam banyak kasus, kandidat yang sedang berkuasa atau memiliki akses ke kekuasaan akan menggunakan pengaruh mereka untuk memobilisasi birokrasi. Ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip netralitas ASN, yang diatur oleh Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, serta Peraturan KPU (PKPU) dan berbagai aturan Bawaslu. ASN, sebagai bagian dari aparatur negara, seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis, namun dalam praktiknya, banyak kasus di mana ASN terlibat dalam mendukung kandidat tertentu, sering kali dengan tekanan dari atasan mereka.
Ketika ASN dan aparat pemerintah dimobilisasi untuk mendukung kandidat, hal ini menciptakan ketidaksetaraan dalam kompetisi politik. Kandidat yang tidak memiliki akses ke sumber daya negara berada pada posisi yang kurang menguntungkan, sementara kandidat yang memiliki akses lebih besar dapat memanipulasi proses pemilu. Ini adalah bentuk nyata dari "politik sepak bola gajah," di mana hasil pemilu sudah ditentukan sebelum pemungutan suara dimulai.
Praktik politik sepak bola gajah dalam Pilkada memiliki dampak yang sangat merusak terhadap demokrasi. Pertama, praktik ini mencederai prinsip keadilan dan persaingan sehat dalam politik. Jika hasil pemilu sudah ditentukan melalui manipulasi, rakyat tidak lagi memiliki suara dalam menentukan siapa yang akan memimpin mereka. Ini tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Kedua, politik sepak bola gajah melahirkan pemimpin yang tidak kompeten dan tidak memiliki legitimasi moral. Pemimpin yang terpilih melalui cara-cara curang cenderung tidak memiliki komitmen untuk melayani kepentingan publik. Mereka lebih mungkin menggunakan kekuasaan mereka untuk memperkuat posisi politik dan ekonomi pribadi mereka, alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Ketiga, politik sepak bola gajah memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia. Demokrasi seharusnya menjadi proses yang memberikan ruang bagi partisipasi publik yang luas, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Ketika demokrasi dicurangi melalui manipulasi politik, kualitas demokrasi akan menurun, dan ruang partisipasi publik akan semakin sempit.