Mohon tunggu...
Ali AkbarMuhammad
Ali AkbarMuhammad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada Halteng: Di Jerat Politik Klientelisme dan Politik Ijon?

5 Juni 2024   16:30 Diperbarui: 6 Juni 2024   03:23 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Ali Akbar Muhammad, S.IP (Aktivis Demokrasi)

Pesta demokrasi lima tahun masih terus berlanjut, setelah Pilpres dan Pileg selesai, rakyat Indonesia masih menghadapi Pemilihan Kepala Daerah.Pilkada menentukan nasib rakyat di daerah lima tahun kedepannya. Untuk itu momentum demokrasi yang akan diselenggarakan pada bulan November 2024. Harus menjadi perhatian serius semua kalangan. 

Pasalnya ada 197 Kepala Daearah yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat dari tahun 2022 untuk mengisi kekosongan jabatan ditingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Dan beberapa daerah di Indonesia termasuk Maluku Utara kabarnya ada Penjabat Kepala Daerah yang ikut bertarung dalam Pilkada.


Kabar itu di benarkan karena di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, Penjabat Kepala Daerah masih aktif disniyalir telah mendaftar dalam penjaringan berbagai Partai Politik. Polemik terus bergulir dari hasil pantauan penulis di media sosial.

Pasalnya Penjabat Bupati yang akan maju mencalonkan diri tersebut statusnya masih ASN. Ya setiap warga negara berhak secara politik terlibat dalam proses demokrasi. Namun dalam konteks demokrasi ada pula Undang-undang yang mengatur. Maka sebagai ASN harusnya Penjabat Bupati berani mengambil sikap secara politik untuk mengundurkan diri.


Karena kalau itu tidak dilakukan. Banyak studi kasus diberbagai daerah telah menunjukan bagaimana Penjabat Daerah yang berkuasa, menggunakan kekuasaanya untuk kepentingan politik pada Pilkada. Praktek penyalahgunaan kekuasaan dalam wujud politik klientelisme dan politik ijon. Yang dikontrol langsung oleh oligarki.


Dalam buku Democracy For Sale, klientelisme politik terjadi ketika para pemilih, para penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material (Aspinall dan Berenschot; 2019. hlm 2). 

Sedangkan politik ijon , demikian JATAM menyebutnya, adalah memanen pengaruh bahkan sebelum kontestasi pemilihan elektoral dimulai dengan menanam uang mereka pada kandidat yang dianggap terkuat. Di sinilah para konsultan politik serta penguasa kapital finansial di balik media massa menutupi dan menghapus jejak-jejak busuk serta sidik jari para pendukung.


Dalam banyak kasus politik klientelisme dan politik ijon dilakukan oleh oligarki tingkat lokal maupun nasional. Misalnya ketika ada  Penjabat Kepala Daerah yang ingin mencalonkan diri kembali sebagai Gubernur atau Bupati atau Walikota. Tentu hal utama yang harus ada ialah modal, karena untuk mendapatkan rekomendasi dari berbagai partai politik harus ada modal. 

Menurut Kementerian Dalam Negeri, calon bupati di Indonesia menghabiskan 25 hingga 30 miliar rupiah dalam Pilkada. Dari uang tersebut, yang berasal dari kantong pribadi kandidat hanya sekitar 500 juta hingga 1 milyar, sedangkan sisanya dari pihak sponsor, pemodal atau investor.


Jika Penjabat Kepala Daerah telah masuk dalam jeratan politik klientelisme dan politik ijon. Maka ia harus dengan senang hati memuluskan kepentingan oligarki. Kongkritnya APBD harus menjadi jaminan untuk memuluskan berbagai proyek-proyek oligarki, Izin Usaha Pertambangan harus diterima dengan menyediakan lahan sumber daya alam, dan lain sebagainya. Bahkan yang paling berbahaya dari jeratan politik klientelisme dan politik ijon ialah para oligarki bisa mengintervensi seluruh kebijakan politik.


Lalu bagaiamana dengan Halmahera Tengah? Apakah Penjabat Kepala Daerah masuk jeratan politik klientelisme dan politik ijon? Kalau analisa sekedar dugaan ya bisa jadi. Namun untuk membuktikan itu sebaiknya  publik berdiskusi, riset dan menganalisis.


Para figur yang akan bertarung pada Pilkada Halmahera Tengah harus  hati-hati, ketika pengaruh pengusaha dan modalnya begitu menentukan politik pemerintahan. Maka hanya beda tipis dengan praktik VOC, dimana pengusaha juga merupakan penguasa.


Tidak boleh ada VOC dalam kemasan baju demokrasi di Indonesia. Di satu sisi mengumandangkan demokrasi, tetapi sesungguhnya yang terjadi praktik eksploitasi. Sejarah akan selalu meski dalam baju berbeda.


Kalau jeratan tersebut berhasil menjangkau semua figur yang bertarung. Maka selama lima tahun kedepan rakyat Halmahera Tengah paling menderita. Karena seluruh kebijakan politik yang dibuat oleh pemerintah, hanya akan memuluskan kepentingan oligarki.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun