Mohon tunggu...
Abdurachman Ali
Abdurachman Ali Mohon Tunggu... Insinyur - Hidup dengan penuh syukur

Writer-Traveller-Engineer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ijen Baluran Bromo, Perjalanan Tiga Hari

7 September 2014   23:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:22 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14100807261461750012

'Traveling- it leaves you speechless, then turns you into a storyteller- Ibn Battuta'

Petualangan ini dimulai saat teman saya menanyakan “Man,mau ikut ke Ijen gak?".Saat itu otak saya langsung berpikir, Agustus ini memang belum ada rencana yang saya siapkan untuk jalan-jalan. Selain karena belum ada ide, ke alpaan tanggal merah yang biasanya hadir pada bulan-bulan sebelumnya menambahkan kerumitan untuk menyusun jadwal perjalanan. Alhasil, ajakan teman saya untuk berwisata ke salah satu gunung di daerah Jawa timur itu bagaikan gerimis di musim kemarau. Tanpa pikir panjang saya pun mengiyakan undangan yang dilontarkan, bahkan sebelum mengetahui rencana lengkap dari perjalanan tersebut.

Dan dimulailah perjalanan atau bisa dikatakan sebagai petualangan yang ternyata memberikan banyak kejutan. Hari demi hari, gambaran yang saya dapatkan tentang perjalanan ini semakin jelas. Dimulai dari tujuan wisata yang melibatkan lebih dari sekedar Ijen. Berawal dari Surabaya, berlanjut ke Ijen, Taman nasional Baluran dan diakhiri di gunung Bromo. Kejutan pun masih berlanjut dengan cara kelompok yang beranggotakan 11 orang menjalani trip ini. Bayangkan, untuk tiga hari ke depan kami akan tidur di dalam mini bus!. Tidak mengherankan sebagai anak kota, topik yang riuh diperbincangkan beberapa hari sebelum keberangkatan adalah mengenai tempat dan cara mengisi ulang baterai handphone pintar masing-masing.

Seiring dengan gagahnya kereta tujuan stasiun Gubeng melaju menembus dinginnya angin malam, resmilah perjalanan ini dimulai. Nyeyaknya tidur di dalam gerbong besi diharapkan dapat menjadi bekal yang cukup untuk memulai perjalanan esok hari. Sesampainya di Surabaya, perbedaan iklim sudah mulai terasa, panasnya kota pahlawan tersebut membuat saya yakin kita tidak salah tujuan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah bertemu dengan pemandu wisata yang telah dikontak ssebelum keberangkatan, yang membuat saya paling merasa penasaran adalah seperti apa bentuk hotel beroda yang akan menjadi rumah kami sepanjang perjalanan ini. Rasa penasaran pun sirna seiring munculnya minibus besar dengan kapasitas 20 orangberwarna hijau menyala terang. Warna norak minibus itu pun memudahkan kami untuk menemukan pemandu wisata yang sudah berdiri manis di dekatnya.

Di kota Pahlawan

Sampai di hari Jumat tidak membuat kami lupak untuk melaksanakan sholat Jumat. Selain untuk menjalankan kewajiban dan mengucap syukur karena diberikan kesempatan untuk menikmati ciptaan-Nya, kami pun memilih untuk sholat di masjid terbesar di Surabaya, Masjid Al-Akbar. Sesuai dengan namanya, masjid ini memang memiliki ukuran yang spektakuler. Arsitekturnya yang teduh membuat betah berlama-lama berada di dalamnya. Ditambah angin semilir yang dengan bebas keluar masuk, membuat rasa lelah di perjalanan lenyap entah kemana terganti oleh rasa syahdu yang pelan-pelan menyusup ke dalam jantung. Sehabis sholat, naik ke menara masjid untuk melihat pemandangan kota Surabaya membuat perjalanan ini serasa dimulai dengan sempurna. Saya pun berdoa di dalam hati “Ya Allah,jadikanlah perjalan ini berakhir dengan baik, sebaik kami memulainya.”

Nampaknya ungkapan yang mengatakan “Jika perut kenyang maka hati pun tenang” dipahami dengan baik oleh pemandu wisata kami. Setelah dari masjid Al-Akbar, Diajaklah rombongan ke kedai sate kelopo untuk bersantap siang. Nikmatnya Nasi panas yang dipadu dengan sate berbumbu kacang dan kelapatidak hanya membuat perut kenyang dan hati tenang namun juga perasaan yang menjadi senang, penat pun serasa hilang.

“Habis makan itu enaknya ngerokok men!”,ungkapan yang sering saya dengar dari kawan yang hobi menghisap tembakau untuk mengasapi paru-parunya. Namun karena banyak dari anggota rombongan ini bukanlah perokok, maka hal itu kami siasati dengan mengunjungi tempat dimana rokok diracik. Sampailah kami di House of Sampoerna. Bagi yang sering mencari referensi perjalanan ke TripAdvisor mungkin tidak akan asing dengan nama House of Sampoerna, tempat ini memang dinobatkan sebagai tujuan nomer satu yang harus dikunjungi jika sedang mampir ke Surabaya, berdasarkan situs perjalanan tersebut. Begitu melewati pintu masuk, hidung langsung tertusuk oleh aroma tembakau yang semerbak mengisis tiap celah ruangan. Di sini, bukan hanya terdapat sejarah bagaimana keluarga Sampoerna merintis usaha tersebut dari awal sampai sebesar sekarang, di lantai atas terdapat pula tempat pembuatan rokok mulai dari bentuk tembakau, dilinting sampai dikemas untuk siap dipasarkan.Namun karena kami tiba terlampau siang, jam kerja untuk pembuatan rokok pun sudah usai, sehingga kami hanya bisa melihat pembuatan rokok melalui fasilitas video yang disediakan. Sebagai atraksi utama yang ditawarkan, seharusnya hanya menyaksikan lewat video yang bisa kapanpun diunduh di Youtube akan menimbulkan kekecewaan. Namun terus terang yang membuat saya penasaran untuk mengunjungi tempat tersebut bukanlah bagaimana para pekerja merangkai batang demi batang rokok, yang memancing rasa penasaran saya lebih kepada faktor sejarah yang berada di balik perusahaan sebesar HM Sampoerna. Dan rasa penasaran itu pun lenyap seiring fasihnya tour guide disana memberikan pemaparan. Acara kunjungan ini pun ditutup dengan melihat rumah dan mobil milik keluarga Sampoerna generasi awal yang masih terawat dengan baik sampai sekarang.

Api Biru di Ijen

Sesuai dengan undangan di awal, maka berlanjutlah perjalanan menuju Ijen. Perjalanan ditempuh selama delapan jam dari Surabaya. Ijen terkenal dengan api birunya yang konon hanya ada dua di dunia. Di samping itu pemandangan yang “kalender banget “ kalau kata orang-orang dulu atau “Instagram banget” kalo kata anak-anak sekarang adalah point tambahan yang lebih dari cukup untuk memancing rasa haus akan keindahan. Perjalanan yang jauh itu pun masih ditambah dengan jalan bermodal dengkul selama kurang lebih 3 jam ditengah hawa dingin yang menusuk dan pekatnya gelap malam. Sepanjang perjalanan, banyak ditemui penambang belerang yang berjalan menuju ataupun pulang dari kawah Ijen. Perjalanan kali ini memang lumayan menguras tenaga, tambahan gerimis yang seakan menguji rasa penasaran akan keelokan yang tersembunyi di balik gunung dan gelapnya malam. Langkah demi langkah dan rasa lelah yang terasa tanpa keluarnya peluh dari badan pun terbayar sesampainya di tujuan. Indahnya kawah dan pemandangan yang mengelilinginya terasa amat murah jika dibandingkan dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk mencapainya. Kawah yang berpendar biru dengan pepohonan yang gugur di sekitarnya seakan saling melengkapi satu sama lain. Sesi foto pun menjadi hal yang fatal jika terlupakan. Banyaknya turis asing pun menimbulkan kebanggan tersendiri di dalam hati “Tuhan memilih untuk menitipkan keindahan seperti ini ke alam Indonesia Bung!”

Africa Van Java di Baluran

Memori akan keindahan alam Ijen menjadi snack yang cukup sepanjang perjalanan empatjam menuju taman nasional Baluran. Hal yang dijanjikan oleh tempat ini adalah padang rumput yang luas dengan binatang-binatang berkeliaran di atasnya. Sekejap muncul bayangan padang rumput Afrika yang sering saya saksikan di Discovery Channel, tapi ah! mungkin saya terlalu muluk-muluk, mana ada tempat seperti itu di Indonesia. Perkiraan saya bisa dibilang delapan puluh persen tepat. Memang tidak ada singa yang berkejar-kejaran dengan zebra ataupun rombongan banteng yang berlarian kesana kemari. Namun padang rumput dan suasana yang terhampar memang mengingatkan saya pada tayangan di Discovery Channel. Sedikitnyabinatang yang keluar pada sore itu membuat kami sibuk mengabadikan pemandangan dari taman nasional itu dengan model satu sama lain. Jika dilihat hasilnya, mungkin akan dikira sedang berada di padang rumput Afrika.

Payung cantik di Bromo

Sejujurnya, jika sudah tahu dari awal dan punya kekuasaan untuk merubah jadwal perjalanan, maka Bromo akan seketika saya sisihkan dari itinerary. Bukan, bukan karena pemandangannya yang tidak elok, bukan pula karena rasa lelah yang terbayang saat mengetahui akan menginap selama tiga hari di dalam mobil. Namun lebih dikarenakan ini akan menjadi kunjungan saya yang ke tiga kali ke gunung tempat suku Tengger bermukim tersebut. Bahkan kunjungan terakhir baru dilakukan pada bulan Mei kemarin. Jika Bromo adalah mini market berhadiah, mungkin saya akan membawa pulang payung cantik karena rajinnya belanja di tempat tersebut. Teman saya pun ada yang berkomentar “Kunjungan ke Bromoselanjutnya, lo udah bisa jadi supir jip nya Man.”

Kunjungan ke tiga kali membuat saya sudah punya gambaran yang cukup terang tentang rangkaian kegiatan disana. Jika kita berbicara kunjungan ke Bromo, maka akan ada empat tempat dan empat acara yang wajib dilalui. Melihat matahari terbit, Ke kawah dan gunung batok, Pasir berbisik dan ditutup dengan bukit Telletubies.

Perhentian pertama saya selalu berbeda untuk setiap kunjungan. Pada kunjungan pertama di tahun 2012, kesempatan untuk menyaksikan matahari terbit didapat dari suatu tempat yang namanya sudah tidak saya ingat, tempatnya tidak begitu tinggi dan mobil pun bisa naik sampai tempat tersebut. Keberadaan mobil dan beberapa pedagang membuat kekhusyukan untuk melihat terbitnya sang surya sedikit tergores, namun itu semua agak terobati dengan indahnya sang surya terbit di ufuk timur. Di kesempatan kedua akhirnya saya mendapat kesempatan menyaksikan terbitnya matahari dari tempat favorit para wisatawan, Pananjakan-1. Tempatnya jauh lebih bagus dengan tata ruang yang diatur menyerupai teater untuk menonton detik-detik kemunculan matahari. Mobil pun tidak sampai kesana dan tukang dagang mengais rezeki dengan memasang lapak berjarak tertentu dari tempat pemantauan. Namun penuh dan sesak sudah jelas menjadi konsekuensi yang harus ditanggung, semua orang ingin mendapatkan tempat terbaik untuk menyaksikan terbitnya matahari. Pemandangan yang didapat pun sungguh spektakuler.Pada kunjungan terakhir ini, lagi-lagi saya mendapat kesempatan memantau dari tempat yang berbeda, walaupun tidak direncanakan sedari awal. Berhubung tingkat kepadatan dan estimasi waktu tidak memungkinkan untuk mencapai Pananjakan-1, maka berdasarkan saran dari supir jip, kami putuskan untuk menyaksikan pemandangan pagi itu dari suatu tempat bernama bukit kingkong. Letaknya sedikit di bawah dari Pananjakan-1, namun pemandangan yang didapat tidak kalah jauh. Tingkat kerapatan pengunjung yang lebih renggang menjadi nilai plus dari tempat ini. Namun kembali lagi ke tujuan utama dari kegiatan melihat matahari terbit, untuk mendapatkan pemandangan terbaik yang bisa memuaskan mata. Maka menurut saya, Pananjakan-1 tetap tempat terbaik walaupun dengan konsekuensi berdesak-desakan. Ingat pepatah yang sering ada di pusat-pusat kebugaran, “no pain, no gain”, Semakin besar perjuangan,semakin indah hasil yang didapat.

Selanjutnya adalah kunjungan ke kawah dan gunung batok, kali ini untuk ke tiga kalinya lagi-lagi saya tidak naik ke atas kawah. Menurut saya kegiatan paling khas dan enak untuk dilakukan disana adalah menikmati indomie goreng di kaki kawah. Udara dingin yang dipadu dengan hangatnya mie masuk ke mulut adalah sensasi lain yang tidak bisa didapatkan di kedai-kedai indomie goreng perkotaan. Lagipula seorang kawan yang pernah naik ke atas kawah mengatakan kepada saya bahwa kawahnya tidak begitu menarik perhatian.

Pasir berbisik menjadi kunjungan selanjutnya, gurun pasir vulkanik yang pernah menjadi tempat syuting salah satu film Dian sastrowardoyo ini tidak menawarkan banyak hal selain pemandangan gurun pasir yang berbukit-bukit. Jangan terlalu siang jika menuju ke tempat ini dikarenakan angin berpasir yang semakin kuat akan menyulitkan penglihatan dan pernafasan.

Begitu mendengar bukit telletubies, mungkin akan langsung terbayang sebuah padang rumput yang luas dan berbukit-bukit dengan rumah telletubies disana. Hapuskan rumah telletubies dari benak dan akan didapatkan gambaran bukit telletubies di gunung Bromo. Padang yang indah dengan tebing di sekeliling seolah lukisan yang sangat menawan hati. Menjadikan ini hidangan penutup yang manis dari rangkaian perjalanan  ke gunung yang tidak pernah sepi oleh kunjungan wisatawan ini.

Satu hal yang saya sadari, diperlukan lebih dari satu kali kunjungan untuk mendapat performa maksimal dari masing-masing tempat di Bromo. Hal ini bergantung dari cuaca, pada periodemusim hujan, bukit telletubies akan bagus karena terlihat lebih hijau, namun pasir berbisik akan berkurang kesannya karena berlumpur. Pemandangan matahari terbit pun akan sedikit terhalang kabut. Namun saat musim kemarau, bukit telletubies akan kurang mempesona, berbalik dengan pasir berbisik. Udara pun akan jauh lebih dingin. Hal itulah yang membuat saya bersyukur pada akhirnya, dari tiga kesempatan yang saya dapat, Bromo dengan performa terbaik telah dapat saya nikmati. Kekecewaan di awal pun sirna terbawa embusan pasir vulkanik.

Tuntas sudah semua objek wisata dikunjungi. Dengan rasa lelah di pundak yang samar-samar terlupakan, perjalanan pun dilanjutkan menuju bandara tempat kami berpisah untuk kembali ke rutinitas kehidupan masing-masing. Banyak pemandangan indah yang terekam, kuliner nikmat yang terkecap dan persahabatan yang terbangun. Alhamdulillah, doa saya di awal perjalanan untuk mengawali dan mengakhiri perjalanan dengan baik, dikabulkan.

Di sayup-sayup senja yang semakin tinggi menuju lapangan terbang  terdengar lagu dangdut yang rutin diputar oleh pilot hotel berjalan kami …

Ora ngerti lagune....

Ora ngerti syaire....

Sing penting aku joget aee....

Tampaknya dengan sedikit perubahan, lagu ini bisa saya jadikan soundtrack perjalanan kali ini

Ora ngerti skedule...

Ora ngerti koncone...

Sing penting aku jalan aee....

(Photo by @yonigram)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun