Mohon tunggu...
Ali Topan
Ali Topan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Aku orang biasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Gunakan Hak Pilihmu

8 April 2014   01:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:56 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="1152" caption="opusofficial1555"][/caption] Awalnya aku sedang ngopi di warung kopi ("yaiyalaah..ngopi ya..di warung kopi masa di MCK"..eiiitttss..tar dulu, ada lagi orang yang ngopinya di MCK, gak percaya? sila tanya mang Agus si penjaga MCK di tempatku, dan aku pernah nyoba lho.. ngopi bareng mang Agus, di MCK tentunya dan itu gak bikin ke-unyu-an dan ke-imut-anku berkurang...hehehe... Dan ternyata, ini fakta. Ada jenis manusia yang gemar nongkrong di kedai kopi tanpa memesan kopi bisa jadi mereka cuma numpang pakai wi-fi, numpang duduk-duduk, atau mesen roti bakar, teh susu, jus atau mie instan yang ternyata gak instan juga..hehehe..dan asyiknya di warung kopi itu kamu boleh ngobrol apa saja, ngobrolin gebetan..boleh, ngobrolin mantan..boleh, ngobrolin ekonomi..boleh, ngobrolin politik...terrrserrrah, tentu sangat berbeda dengan cafe atau warung nasi padang, ditempat ini kamu gak boleh ngobrol sembarangan, kamu dilarang ngobrolin ingus, reak atau muntahan apalagi ngobrolin tai..sangat dilarang, hahaha... Singkat cerita, aku sedang menunggu kopi pesananku, oh ya, ini curcol yah, semendung apapun, serinai apapun bahkan sederas apapun hujan yang turun kalau kopimu dibikinin orang yang bukan "siapa-siapa"-mu, maka tak usah munafiklah kalau sensasinya sama saja, datar, sedatar papan karambol...hahaha... Lanjut... Nah sambil menunggu pesananlah aku iseng menarik koran, harian Warta Kota edisi hari ini, senin 7 April, nah masalahnya aku ini terlanjur menganggap koran-koran sejenis Warta Kota, Lampu Ijo, Berita Kota, pasti beritanya ya sekitar Kota, Harmoni, Mangga Besar dan Lokasari sesekali Kali Jodo sih..hehehe alias kurang layak baca maka apalagi yang kucari dari harian itu selain komik dan cerita lucunya. Dan Warta Kota hari ini rubrik "Meseeem...ye..." menceritakan tentang kepicikan Bedul di sebuah restoran yang cukup ternama. Diceritakan Bedul komplain minta ganti-baru nasi gorengnya yang tinggal seperempat lantaran ada semutnya, setelah dipenuhi, Bedul komplain lagi persis seperti kejadian sebelumnya, kali ini beralasan ada kecoaknya. Dan dengan agak takut pelayan menurutinya. Kemudian tamu meja sebelah Bedul mendatanginya dan berbisik "Pak... Pak... maaf masih punya kecoanya...? Saya juga kepengen nambah nasi...". Hahaha... Maksudku, mungkin seperti inilah cara kerja koruptor di negara kita. Bedul seperti koruptor di negri yang kuaya.. ruaya..ini, mereka ahli bertipu muslihat, ancam-mengancam, pengalihan isu apalagi doktrinasi mereka jelas sudah khatam. Pelayan, mungkin seperti masyarakat awam pada umumnya yang cenderung menuruti karena kagum-lah, menghormati-lah, gak enak-lah, dan ini yang membuat mereka beranggapan "ah, ini bukan tugasku", "ah, aku bisa apa?", "ah, cuek ajalah", "ah, aku gak mau ikut campur" dan masih banyak lagi "ah"-"ah" yang lain. Atau memang aturanlah yang membuat masyarakat tidak bisa berbuat banyak, jadi masyarakat terlanjur dibodohi dengan aturan bodoh dan menganggap hal ini tidak akan menghancurkan bangsa besar ini. Dan tamu meja sebelah Bedul mungkin seperti pejabat dan orang-orang yang tak banyak tingkah, santun, siapapun mereka. Sebenarnya mereka tak tahu apa-apa tapi karena lapar atau di-lapar-kan atau memang rakus. Atau, bisa jadi mereka ikut-ikutan, dipaksa ikut atau memang pikir mereka baiknya kudu ikut, sehingga mereka tertular, mencontoh cara koruptif tadi. Semua bisa saja terjadi. Dan inilah masalah kebangsaan kita. Jangan-jangan bukan karena sistem kenegaraan kita yang tidak bisa menangkal perilaku koruptif, atau mereka, para koruptor yang lebih lihai dan tersistem dengan lebih rapi. Tapi jangan-jangan karena kebodohan, kemalasan, ketidakberdayaan dan ketidakacuhan kita atau karena "entah apa itu" sampai-sampai memberi peluang mereka untuk korupsi dan membiarkan mereka menyebar-tularkan kekoruptifan mereka. Lalu apa yang harus kita lakukan? Gampang, caranya datanglah ke TPS pada rabu, 9 April, gunakan hak pilihmu. Kenapa harus memilih, karena dalam pemilu 1 suara hanya dihitung 1. Jadi 1 suara kyai akan dihitung sama dengan 1suara maling. 1 suara jomblo akan dihitung sama dengan 1 suara orang yang lagi mesra-mesranya pacaran. 1 suara orang baik akan dihitung sama dengan 1 suara orang jahat. Dan kamu, orang baik kan? Jadi datanglah ke TPS lalu gunakanlah hak pilihmu, didalam bilik suara terserah kamu mau nyoblos atau enggak, mungkin ada yang mau hanya berdo'a saja, atau mengingat mantan, atau sekedar melampiaskan kemuakan dengan merusak surat suaranya agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang akan merampok negara, silahkan. Sekali lagi, kalau kamu orang baik gunakanlah hak pilihmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun