Mohon tunggu...
Zulfikar Ali Butho
Zulfikar Ali Butho Mohon Tunggu... -

Masyarakat Biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rencana Hakim Mogok Sidang? Pantaskah?

7 April 2012   15:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:54 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan ini Hakim di Indonesia mengancam mogok sidang, pasalnya gaji mereka saat ini sudah tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup anak istri dan atau orang tua yang semakin tinggi, apalagi berdasarkan ketentuan perundang-undangan bidang kesejahteraan hakim yang ada sudah menetapkan bahwa  terdapat hak-hak ekonomi mereka - para hakim ini-  yang seharusnya dipenuhi oleh Pemerintah sehingga beban kesulitan hidup yang terus meningkat tiap tahun dapat diatasi.

Pertanyaanya apakah pantas keputusan para hakim ini  melakukan mogok sidang apabila Pemerintah tidak segera merealisasikan ketentuan perundang-undangan yang apabila di realisasikan bisa mengatasi kebutuhan hidup yang dirasa semakin menghimpit itu ?

Saya rasa pantas  dengan beberapa alasan


  1. Kesejahteraan ekonomi adalah hak setiap warga negara yang diatur oleh Undang-Undang Dasar NRI , hakim juga adalah warga negara.  Melimpahnya sumber daya alam hayati dan non hayati di republik ini, tidak hanya non hakim yang berhak hidup layak, sejahtera ekonomi, anda, saya kita semua termasuk para hakim itu  berhak mendapatkan kesejahteraan ekonomi
  2. Melihat bagaimana kondisi hakim-hakim daerah yang di ceritakan langsung oleh para hakim ini melalui jejaring media Face book:  RENCANA PESERTA HAKIM INDONESIA MENGGUGAT PRESIDEN DAN DPR RI, berikut dokumentasi foto-foto keadaan tempat tinggal mereka, sungguh tidak terbayangkan, mereka nyata hidup dalam kondisi "miskin". Jauh dari prasangka kita yang melihat dari kejauhan bagaimana posisi mereka didalam masyarakat, mereka tertampak sangat berkuasa, berwenang untuk memenjarakan atau membebaskan kita apabila melanggar Undang-Undang, dengan kewenangan seolah-olah power full terbitlah kesimpulan kita bahwa mereka bagian kelompok masyarakat yang berkelas, tinggi pendapatan dan penghasilan, nyatanya tidaklah demikian dalam keadaan ekonomi materiil.


Tentunya sebagian dari kita, akan memandang sinis terhadap sikap "rencana mogok massal" karena menginginkan kesejahteraan ekonomi apalagi mengingat  tiada henti-hentinya media massa menyoroti kualitas putusan-putusan pengadilan yang sering memenjarakan tanpa kompromi orang miskin dan melepaskan atau memberi putusan hukuman yang ringan bagi para koruptor. Tapi sekali lagi perlu refleksi lebih dalam untuk melihat persoalan "kualitas perilaku hakim yang buruk" dengan "rencana mogok sidang para hakim demi kesejahteraan pribadi beserta anak dan isti para hakim" dengan menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang teman hakim, "coba tunjuk hidung kami, yang mana dari kami yang memutus orang miskin sehingga terpenjarakan dan melepas koruptor atau menghukum koruptor dengan ringan", saya tercenung saat itu, memang hakim-hakim yang menggagas aksi mogok sidang ini, adalah hakim-hakim muda dengan semangat idealisme yang masih bisa diharapkan

Kedudukan Hakim didalam Ketata Negaraan Kita

Para hakim ini bersidang memutuskan Benar atau salah nya perbuatan  warga negara berdasarkan undang-undang (UU). Pertanyaanya adalah siapakah yang membuat undang-undang tersebut ? Apakah para Hakim ? Bukan. Hakim di Indonesia tidak membuat UU, ia hanya menjalankan dan menerapkan UU.

Dulu pra amandemen UUD NRI, Undang-undang itu dibuat oleh inisiatif lembaga Eksekutif lalu disahkan oleh lembaga legislatif (DPR RI) dan saat ini pasca amandemen UU boleh muncul atau juga dibuat oleh inisiatif  lembaga Legislatif. Inilah karakter khas sistem hukum di Indonesia. Hakim tidak membuat UU. Menjadi catatan penting bagi kita semua hendaknya, bahwa Lembaga Eksekutif (Presiden dan kabinet Menteri, Kepala Daerah - Gubernur, Wali kota, Bupati ) dan Lembaga Eksekutif  (DPR RI) adalah institusi politik, mereka terpilih melalui sebuah mekanisme Pemilihan Umum, mereka muncul sebagai "pemenang dari sebuah persaingan politik". Sudah menjadi rahasia umum bahwa "aktor politik"  petarung bekerja memenangkan pertarungan dengan modal yang tak terhingga, berapa jumlah biaya, tenaga dan air mata yang mereka keluarkan untuk sampai pada Institusi Politik yang mereka harapkan kadang sungguh tidak masuk dalam akal sehat kita yang tidak begitu terlibat dalam sebuah pertarungan politik. Sering kita dengar, beberapa diantara mereka, mengalami gangguan jiwa mengingat cost yang sudah di keluarkan sirna terbuang sia-sia karena "jabatan" yang diharapkan gagal diraih.

Terlalu naif jika mengatakan pengorbanan yang begitu besar dari "aktor politik" dalam upaya pencapaian tujuan itu nantinya tidak menyimpan proses endapan kepentingan pengembalian "cost" politik yang telah mereka keluarkan, salah satunya akan mengendap pada produk yang akan di hasilkan berdasarkan tugas dan fungsi serta kewenangan mereka yakni UU.

Kepedulian Kita Dan Harapan Kepada Hakim Muda

Rakyat banyak tentu awam dengan muatan-muatan yang mengendap didalam peraturan-peraturan seperti yang telah saya sampaikan diatas, siapakah yang mampu membaca endapan-endapan kepentingan ekonomis 'aktor politik" yang mengendap dalam peraturan-peraturan ? Sungguh di perlukan para "pembaca mahir" sebuah UU - yang ditulis dengan bahasa berbelit-belit -  untuk mngungkap kepentingan-kepentingan "aktor politik" yang benuansa ekonomis entah dalam rangka pengembalian "cost politik" - dan sekaligus menambah apabila modal sudah kembali -para hakim muda inilah yang mampu membacanya karena mereka terlatih untuk memahami sebuah UU. 

Dulu berharap banyak terhadap Hakim yang mencintai masyarakatnya atau meminta untuk keterlibatanya membaca dimensi dibalik UU adalah hal yang muskil karena merekapun haya bagian dari struktur dengan posisi "pelaksana", tapi saat ini dengan munculnya lembaga Mahkamah Konstitusi yang boleh siapa saja untuk membatalkan sebuah UU - yang mungkin berisi tentang penjualan habis asset negara, pengaturan timpang sikaya dengan si miskin seperti yang terjadi saat ini - termasuk HAKIM MUDA, harapan terdapatnya HAKIM yang kriitis terhadap kesenjangan ekonomi berdasarkan sebuah produk politik yang bernama UU itu sekarang tidak mimpi lagi, dengan catatan, rakyat semua, kita, harus mendukung rencana mereka, keterlibatan ini akan masuk kedalam sanubari para hakim muda ini, bahwa mereka dicintai masyarakatnya dan mereka pun Insya Alloh, akan membalasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun