Mohon tunggu...
Zulfikar Ali Butho
Zulfikar Ali Butho Mohon Tunggu... -

Masyarakat Biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengungkap Misteri Dibalik Pernyataan Anas Urbaningrum (Bag. 1)

13 Maret 2012   14:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:07 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. Latar Belakang

Tertangkap nya Nazarudin yang saat ini sedang menjalani proses sidang pengadilan sebagai terdakwa kasus korupsi uang rakyat pada Hambalang dan wisma atlet menghasilkan sebuah pernyataan di muka persidangan, yang mengejutkan adalah keterangan Nazarudin pada majelis hakim di muka persidangan yang pada pokoknya menerangkan bahwa (bahasa model buat pledoi ya..he he ) Anas Urbaningrum terlibat juga dan ikut menikmati “fast money” tersebut. Segera saja Anas menyanggah dan menyangkal tuduhan yang di lontarkan oleh Nazarudin yang saat ini tuduhan itu sudah di persepsi publik karena gencar di publish ke masyarakat melalui media massa baik elektronik internet, cetak dan Televisi.

Dengan memanfaatkan media sosial twitter Anas Urbaningrum menuliskan :

Kalau saya korupsi wisma atlit dan hambalang, satu rupiahpun, saya bersedia ditembak mati atau digantung di Monas. Bgm dng yg bikin fitnah?[1]. Bagaimana pula dng yg menyutradarai fitnah? Bagaimana pula yg berternak fitnah dan menjadi corong fitnah? Apakah mrk mu dijadikan pahlawan?Bgm dng penjahat BLBI, pengemplang pajak, pengemplang kredit bank, penjual aset2 negara, dll? Ratusan trilyun yg seolah2 tak terlihat.

Setelah menulis di akun twitter miliknya, selang beberapa hari, anas kembali mengulang sanggahanya - kedalam bentuk pernyataan pernyataan dengan “isi” yang sama pada akun twitter nya  - di media elektronik/Televisi. Selanjutnya, dari sinilah (sekitar tanggal 10 maret 2012) bermunculan ragam tanggapan dari masyarakat tentang pernyataan Anas Urbaningrum ini  tetapi dalam rangka memudahkan pembahasan mengenai kandungan “isi” dan “makna” pernyataan Anas Urbaningrum tadi (maksud dan tujuan penulisan), tanggapan masyarakat yang bermunculan itu penulis bagi dalam dua kelompok besar berdasarkan pernyataan masyarakat yang kurang lebih ber pengaruh bagi dirinya (Anas) yakni yang Respon Positif dan Respon Negatif.

Respon Negatif


  1. ”terang saja ia (Anas) minta di gantung di Monas, karena tidak ada hukum gantung di Indonesia”, atau
  2. ada yang menilai tidak mungkin Anas Urbaningrum berani membuat pernyataan sedemikian jika tidak dalam keadaan panik atau
  3. Anas berani mengeluarkan pernyataan tersebut karena sangat yakin hukum tidak akan mampu menyentuhnya.

Respon Positif


  1. Pernyataan Anas itu menunjukan bahwa Anas memang tidak bersalah
  2. Pernyataan Anas itu hanya mampu di keluarkan oleh orang-orang yang memang mutlak tidak melakukan seperti apa yang di tuduhkan (oleh Nazarudin).

II. Permasalahan

Bermunculan ragam pendapat masyarakat, menunjukan proses komunikasi berikut penyampaian makna di dalamnya antara Anas dengan masyarakat terhubung secara tidak linear karena terlihat terdapat perbedaan persepsi orang yang hendak memahami sebuah pernyataanya, termasuk mungkin terhadap penulis.

Menarik rasanya untuk ikut memahami kandungan makna dari pernyataan yang di bahasakan dan disampaikan seorang Anas Urbaningrum dengan cara meneliti (maksudnya sih penulisan ini ilmiah, penelitian) pernyataannya itu sebaik-baiknya sehingga pernyataan Anas dapat di pahami tidak bias dengan sudut hingga 360 derajat (wah, gak berubah dong, oke 180 derajat) karena terlalu subyektif nya peng interpretasi pernyataan. Ini semua di lakukan untuk memahami apa yang yang sebenarnya terkandung di balik pernyataan Anas Urbaningrum umumnya kepada pemirsa di rumah (kayak penyiar radio aja) dan khususnya kepada penulis, untuk itu penulis merumuskan persoalan kedalam sebuah rumusan pertanyaan, yakni:

”Apakah makna yang terkandung dari  pernyataan Anas Urbaningrum sebenarnya ?

III. Metode Penelitian (penting dibaca, jangan tiru mahasiswa yang males baca metode penelitian)

Ada banyak ”metode atau cara” untuk memahami ”pernyataan (tertulis dan gak tertulis)” seseorang tokoh, publik figur atau yang gak top sekalipun seperti ibu, ayah, kakak mbah kangkung, eyang putri (eh..denger-denger nih ada penelitian, katanya terdapat LINTAH dalam sayuran terutama di batang sayar kangkung yang bisa masuk kedalam perut terus hidup nikah dan beranak pinak di perut, apa iya ?..hiii) yakni salah satunya, seperti apa yang di sarankan oleh ninik mamak kita, yakni....langsung bertanya pada si empunya pernyataan...mudah kan ? bertanya langsung secara face to face, klarifikasi bin tabayun kepada si empunya pernyataan (pagimana kalo yang di tanya bohong ayooo), nah, persoalanya kalau si ”pembuat pernyataan” jauh dari tempat tinggal kita, pas mo kesana gak punya ongkos ?, kalo nelphon juga rumit, apalagi kita gak punya pulsa buat nelphone, pun punya pulsa gak tau nomor nya ? pun tau nomornya si pembuat pernyataan gak kenal dengan kita ? lah piye ?

Oleh karenanya Pernyataan Anas ini penulis coba dekati dengan cara atau metode berdasarkan perspektif analisis wacana kritis. Ingin rasanya menjelaskan detil teoritikal teknis analisis wacana tapi keterbatasan waktu dan tenaga (bukan males yaaaa) Tapi intinya percayalah pendekatan ini Analsis Wacana Kritik. Perlu di tekankan dalam penulisan ini, dari macam banyak pendekatan Analisis wacana, penulis menolak menggunakan Pendekatan epistemologi empirisme positivisme yang memahami pernyataan (tertulis dan tidak tertulis) atau bahasa hanya medium komunikasi belaka. Bahasa dalam episteme empirisme positivis ini dimaknai secara polos. Bahasa dipandang semata sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, untuk mengekspresikan rasa cinta dan seni, untuk melakukan persuasi-persuasi, serta wahana untuk menyampaikan dan melestarikan kearifan-kearifan serta nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu komunitas (Slembrouck dalam Widya Astuti Perbani, Makalah, 2005)

III. Pembahasan

Pertama kita kutip sebagaian pernyataan Anas Urbaningrum disini, ini yang paling banyak menjadi obyek telaah pemirsah di rumah:

Kalau saya korupsi wisma atlit dan hambalang, satu rupiahpun, saya bersedia ditembak mati atau digantung di Monas.

Dalam analisis pernyataan ini, melalui pembacaan berulang-ulang, Anas seolah-olah sedang membawa penulis kedalam sebuah kondisi dunia nyata di Indonesia secara khusus bidang PERADILAN (Kepolisian-kejaksaan-kehakiman). Khususnya peradilan pidana, yang di dalam istilah anak hukum zaman sekarang ini masuk dalam studi yang di sebut HUKUM PIDANA. Berkenaan dengan istilah ”Hukum pidana”, terbayang lagi cerita olok-olok dalam ruang perkuliahan semasa kecil dulu (sekarang penulis beranjak ”muda”),”apa sih arti PIDANA itu ?” di jawab oleh teman penulis yang sekarang sudah menjadi ”orang” (tepatnya menjadi Jaksa Penuntut Umum) bahwa artinya adalah HUKUMAN. Penulis simpulkan bahwa Hukum Pidana itu artinya ”Hukum = Hukum, Pidana = Hukuman”, so HUKUM PIDANA = HUKUM-HUKUMAN,,becandaan dong ??? (entah dari pemikir mana teman tadi dapet istilah Hukum-Hukuman)

Lanjut, teks KALAU SAYA KORUPSI – SATU RUPIAH PUN – BERSEDIA DI TEMBAK MATI ATAU DI GANTUNG DI MONAS mengandung makna bahwa ”kalau (tidak pasti) terjadi sidang Pengadilan (disini Anas menekankan pada Pengadilan bukan, lembaga Kepolisian dan Kejaksaan) yang bisa membuktikan dirinya korupsi satu rupiah pun rela di hukum mati, baik di tembak atau di gantung di Monas.

Pengadilan, ya Anas membangun sebuah wacana makna ”Pengadilan”, ini membawa penulis ke alam makna yang menunjuk realitas obyektif empirik faktual (wuiiddiihh) sebagai sebuah lembaga tempat di lakukanya proses di mana manusia Indonesia mencari keadilan dus termasuk di dalamnya para tersangka kasus Korupsi. Di dalam Pengadilan terdapat proses yang akan memutuskan apakah seseorang yang di hadapkan di muka sidangt Pengadilan nantinya sebagai koruptor atau bukan koruptor, terbukti korupsi atau tidak terbukti korupsi, berikut ”hukum-hukuman” yang di dapat dari sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terutamanya penjara dan Pidana Mati seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR).

Khusus hukaman bagi pelaku kejahatan yang bersinggungan dengan uang rakyat korelasinya pada pidana penjara (ada beberapa jenis Pidana di Indonesia: Penjara, kurung, denda, mati), terbayang bagaimana seorang pemilik Uang banyak seperti Gayus menikmati pidana penjara nya atau bu Ayin yang sempet ke gep lagi nyengnyong punya kamar mewah di dalam lembaga Permasyarakatan Indonesia. Entah bagaimana dengan saat ini, jual beli narkotika pun di situ sering di temukan apalagi bagi rakyat miskin, ada yang tau nasib orang miskin di dalam penjara jika di bandingkan dengan Pejabat ?

Selanjutnya masuk kembali kealam teks mencari makna PENGADILAN sebagai kandungan teks, terbayang sebuah PENGADILAN yang akan melakukan proses pemeriksaan yang di hayati oleh Anas sebagai sebuah tempat bagi proses yang tepat untuk mempertaruhkan dan membuktikan tuduhan-tuduhan atau pendapat-pendapat masyarakat yang beraras negatif kepada dirinya hingga rela oleh PENGADILAN itu untuk memberi putusan pada dirinya walau hingga tingkat hukuman KEMATIAN sekalipun. Penghayatan ini tidak salah dan terdapat juga pada :mental penghayata bagi sebagian orang (sebagiannya lagi sangat menghayati) bahwa PENGADILAN berjalan secara ”fair” untuk perolehan ”justice”. Pertanyaannya, Pengadilan mana yang sedang di tunjuk dan niscayakan  oleh Anas Urbaningrum yang di jadikanya sebagai media pembuktian akan memproses dirinya dengan prinsip-prinsip ”fairness” and ”justice for all” (ini judul album Metalica, group metal), apakah Pengadilan Amerika, Russia, China ?. Jawabnya jelas Pengadilan tercinta made in Indonesia, di sini Pernyataan Anas masuk kedalam hukum ”analisis wacana kritis” yaitu KONTEKSTUAL dimana pernyataan di maksudkan.

Merasa yakin akan mendapat keadilan di dalam pemeriksaan PENGADILAN INDONESIA, memang sangat relevan, lihat saja bagaimana saat ini pengadilan-pengadilan telah banyak membebaskan para terdakwa koruptor di berbagai daerah, berkat ”ketelitian” dan ”kejelian” daya nurani yang peka yang di bangun atas pengabdian tanpa pamrih oleh para ”Hakim Yang Mulia (dalam sebuah pemeriksaan saksi dalam persidangan Nazarudin menghadapkan Angelina Sondakh, istilah YANG MULIA ini di sebut berulang-ulang)  berdasarkan Ke Tuhanan yang Maha Esa (Pancasila sila pertama) belum lagi proses PERADILAN (ini bukan PENGADILAN, tapi termasuk Polri-Kejaksaa-Kehakiman)   yang bergerak bagai DEWI KEADILAN DENGAN MATA TERTUTUP DENGAN TEBASAN SEBILAH PEDANG atau yang di citrakan sebagai  ”equality before the law ” dan berakhir dengan kisah ”bahagia” membuat kita tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, antara lain sidang Pengadilan Indonesia yang mengisahkan pemidanaan terhadap prita mulya sari yang terpisah dengan putrinya sekian lama, penangkapan sendal jepit buruk yang harga tak seberapa, mbok minah terpidana nenek tua renta yang harus berhadapan dengan PERWIRA HUKUM karena 3 buah coklat yang di pungutnya dan masih banyak kisah lain yang sangat ”membahagiakan” dan mencirikan Pengadilan dan Peradilan fairness and Justice for All, seperti yang di hayati Anas Urbaning rum

(BERSAMBUNG)

[1] Teks ini di copy pada tgl 09 maret 2012 dari akun twitter milik : Anas Urbaningrum ; @anasurbaningrum,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun