Judul di atas adalah sedikit gambaran mengenai kiprah dari Media Sandiwara Radio di bumi Nusantara ini, salah satunya adalah kota Angkring yaitu Yogyakarta, yang dulunya pernah booming dengan berbagai kisah ataupun sandiwara seperti “Saur Sepuh”, “Tutur Tinular”, “Misteri Gunung Merapi” dan masih banyak lagi.
Sandiwara Radio sendiri sebenarnya sudah mendapatkan popularitasnya pada tahun 1940an, dan juga menjadi pemimpin dalam dunia hiburan internasional. Namun kepopularitasan tersebut lambat laun mulai terkikis seiring dengan kemajuan tekhnologi yang terus berkembang pesat layaknya seperti kisah ”Pelangi di Atas Glagah Wangi” yang mengalir mengisi detik-detik habisnya era kerajaan Syiwa-Budha dan hadirnya Islam di tanah air. Dalam tulisan ini, penulis akan memapaparkan mengenai:
- CeritaKu di kota Angkring
- OpiniKu tentang edukasi penanggulangan bencana melalui sandiwara radio
- TipsKu
Yang di kemas dengan judul “Siaga Bencana melalui Media Sandiwara Radio di kota Angkring”. Memang judul tersebut terlihat lebih spesifik, namun penulis hanya ingin mengibaratkan tema yang di sudah di tentukan layaknya sandiwara seperti yang di buat oleh Media Sandiwara Radio. Baik langsung saja menuju ke paparan yang pertama.
CeritaKu di kota Angkring
Semua berawal dari kebahagiaan yang menyelimuti setiap mahasiswa dari salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta yang akan melaksanakan acara sakral sekaligus menjadi acara yang di tunggu-tunggu oleh setiap mahasiswa apalagi kalau bukan “Wisuda”, walaupun ada sebagian mahasiswa yang mengatakan bahwa acara tersebut malah menjadi titik awal permasalahan dari petualangan dalam kehidupan, namun itu hanyalah opini dari sebagian mahasiswa yang dulu sewaktu di bangku perkuliahan tidak memanfaatkan materi kuliah dengan baik, sehingga tidak memiliki hardskill yang baik, kalaupun punya softskill, itupun tidak cukup hanya softskill saja, karena hardskill itu harus di tunjang dengan softskill yang baik.
Waktu itu tanggal 27 mei 2006, layaknya seperti hari-hari biasa tidak ada tanda-tanda aneh yang akan terjadi, semua orang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing, termasuk para mahasiswa yang akan melakukan acara “Pindah Tali Toga” atau yang lebih akrab dengan acara Wisuda, acara tersebut adalah acara yang di rindukan oleh setiap mahasiswa, dimana makna dari memindahkan tali toga tersebut adalah Toga merupakan simbol yang menyatakan bahwa mahasiswa telah lulus dan siap untuk terjun ke masyarakat.
Tali toga yang awalnya disampirkan di kepala sebelah kiri lalu kemudian oleh pak Rektor dipindah ke bagian kanan mempunyai maksud bahwa Tali toga di sebelah kiri maksudnya adalah selama menjadi mahasiswa, bagian otak yang dipakai mahasiswa kebanyakan adalah otak kiri. Dimana otak kiri itu hanya berhubungan dengan bahasa atau hafalan. Nah, dipindahkannya tali toga dari kiri ke kanan itu dimaksudkan agar setelah lulus para sarjana tidak hanya menggunakan otak kiri, tetapi harus lebih banyak menggunakan otak kanan. Dimana otak kanan ini berhubungan dengan daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi seseorang.
Waktu itu wisudawan dan wisudawati sudah memasuki gedung wisuda, beserta dengan para pendampingnya, dan acara sudah berjalan, pada mulanya acara belangsung dengan hikmat, lancar dan sebagaimana mestinya. Namun takdir Sang Ilahi berkata lain, saat di tengah acara terjadi gempa bumi yang mengguncang wilayah Yogyakarta dan sekitarnya dengan kekuatan 5.9 SR. Suasanapun berubah dari senang, bahagia dan haru karena lulus, berubah menjadi haru karena kedahsyatan kuasa Sang Ilahi. Suasana semakin padat dan riwuh, alat komunikasi tanpa kabel itu terdengar berdering dari mana-mana. Keluarga di negeri sebrang pun was-was akan keluarganya yang sedang menuntut ilmu, bekerja di Jogja apalagi yang sedang wisuda. Tak sedikit dari mereka yang tidak bisa berkomunikasi.
Hampir semua komunikasi terputus pagi itu. Acara Pindah Tali Togapun berpindah dari dalam gedung ke luar gedung, hal tersebut di lakukan untuk mengantisipasi gempa susulan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Saat itu yang terpikir hanyalah keselamatan dan dosa yang telah kita perbuat. Keadaan panik dan bingung pada waktu itu teredam oleh seoarang petugas dari tim SAR, dan mengatakan semua hal yang terjadi akibat amukan bumi yang baru saja terjadi, tidak menimbulkan tsunami dan tidak ada gunung meletus.
Kecemasan dari setiap wisudawan dan wisudawati mulai berkurang, setelah merampungkan acara Wisuda, kami kembali ke kos atau kontrakan masing-masing. Acara sampingan, seperti makan bersama, traktir makan, jalan-jalan bersama teman-teman kospun kami urungkan, mengingat amukan bumi tadi pagi.
Selidik punya selidik ternyata gempa bumi tadi bukan berasal dari muntahan dari gunung berapi, mengingat posisi kami berada tak jauh dari gunung berapi yang hanya berjarak beberapa kilometer saja, melainkan adanya pergeseran lempeng bumi di laut selatan. Gempa bumi dengan kekuatan sebesar 5.9 SR itu meluluh lantahkan dataran jogja dan sekitarnya. Ribuan jiwa menjadi korban amukan bumi tersebut. Rumah sakit pun tidak sanggup lagi mampu menampung korban-korban.
Acara sampingan yang sudah di rencanakan di awal bersama teman-teman dan saudara, berubah menjadi acara bakti sosial (baksos). Kami ikut berpartisipasi menjadi relawan dan ikut membantu petugas tim SAR dalam mengevakuasi korban. Jika di pikir-pikir mungkin menjadi relawan dan membantu petugas itu lebih baik dan berkah, dari pada pesta bersama teman-teman yang tentu saja menghabiskan uang dan mungkin ini cara sang Kuasa memberi tahu kita bagaimana menjadi manusia yang lebih bijak dan lebih bermanfaat.