Akal sehat saat ini didengung-dengungkan sebagai sebuah alat untuk mereka yg berbeda sikap politik. Dengan jargon "akal sehat" seolah sebagai alat legitimasi bahwa orang diluar mereka tidak memiliki kesehatan akal. Nalar dipermainkan dan juga fakta dikaburkan.
Kita harus meluruskan penggiringan opini sepihak ini dengan belajar menjadikan setiap masalah berbasis studi.
Sebagai contoh pelurusan opini adalah masalah hutang luar negeri yang dinyatakan sudah "parah" dan Indonesia dinyatakan sudah diambang kebangkrutan.
Hutang bukanlah suatu hal yang haram. Bahkan hutang adalah sebuah hal yang wajib ada dalam pengelolaan usaha apalagi sebuah negara. Jangan antipati dengan hutang karena gempuran isu.Â
Hutang yang sehat adalah hutang yang tidak melampaui PDB. Artinya hutang tdk boleh melibihi pendapatan. Rasio hutang yang diijinkan Undang-Undang adalah diambang 60% terhadap PDB. Artinya dibawah 60% berarti aman.
Jepang sebagai negara maju saja memiliki hutang yang sangat besar. Lebih dari 200% PDB nya. Singapura memiliki rasio 118% dsri PDB nya. Jika diasumsikan negatif bahwa rakyat indonesia baru lahir ssh memikul hutang 13jt maka di Singapura justru 700jt hutang rakyatnya yang baru lahir.Â
Itu hanya contoh saja sebagai perbandingan, jangan terbawa suasana mengerikan yang sengaja dihembuskan karena hutang, tapi lihatlah apakah hutang tersebut sehat atau tidak. Semakin maju suatu negara maka hutangnya juga akan semakin besar. Jika kita mengharamkan hutang, kapan negara ini bisa maju karena hutang sudah menjadi bagian dari sebuah prilaku ekonomi, politik luar negeri dan juga indikator pembangunan sebuah negara yang belum swasembada.
Hutang Indonesia saat ini dalam kisaran 30% terhadap PDB. Kenapa sangat kuatir negara sebesar Ini dengan hutang??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H