Matahari telah sempurna tumbang di kaki langit. Tanda hari beranjak malam. Menyisakan hawa dingin menusuk tulang. Lampu jalan menyala temaram. Debu-debu pasir leluasa beterbangan. Ditiup angin hingga entah di mana akan mendarat. Terdengar pula lolongan anjing-anjing liar yang bersahutan. Seolah saling memanggil, menyeru, waspada mengingatkan akan sesuatu yang segera terjadi kemudian.Â
Kriieet... Grek!
Suara pagar besi di teras rumah ditarik menutup oleh ibu. Ini sudah malam. Tidak akan ada seorang pun dari ayah, ibu, adik, maupun aku yang berani keluar setelah Sang Surya berganti rembulan. Bukan. Ini bukan soal penampakan sosok yang menakutkan. Bukan juga tentang mitos-mitos yang pernah kalian dengar. Meski demikian, apa yang segera aku alami justru lebih mengerikan.Â
Aku menduga, insting anjing-anjing liar itu berjalan. Saling melolong tanda ada bahaya yang membuat situasi akan berubah mencekam. Sesuatu itu, firasatku, segera saja menjadi kenyataan.Â
Buumm!!! Buumm!! Duaarr!Â
Kraak! Kraakkk! Bruuugghh!!
Astaga! Lawan mulai mengirim rudal?! Di waktu pergantian malam yang seharusnya aku mendirikan shalat tiga rakaat sekarang?!
Ledakan yang bertubi-tubi itu memang masih samar terdengar dari kejauhan. Meskipun suara gemeretak dan debum rumah serta gedung yang luluh lantak tetap terdengar dari rumah kami. Membuat aku dan keluargaku saling menatap jeri. Kami mulai tersadar, hal yang terburuk sepanjang hidup sepertinya akan terjadi malam ini. Tidak bisa ditunda, tidak bisa ditawar lagi. Perang mulai meletus.Â
Di tengah kepanikan, sudut mataku menangkap realitas bahwa di luar sana banyak warga yang wajahnya kebanyakan kukenal baik mulai berlari berhamburan di jalan. Tua-muda, pria-wanita, dewasa dan anak-anak tumpah ruah memenuhi dua sisi jalan di depan rumah. Tergopoh-gopoh menuju arah yang sama. Berlari dengan tangan kosong, kecuali para orangtua yang menggendong anak-anak mereka. Beberapa di antaranya menangis karena panik. Sebagian lainnya mengikuti langkah cepat orangtua mereka dalam diam dan ketakutan.Â
Belum genap kesadaranku kembali untuk berpikir rasional, datanglah seorang aparat keamanan. Setengah berteriak ia berseru, "Tuan dan Nyonya sekalian ada baiknya kalian segera pergi. Tinggalkan rumah! Jangan membawa apapun! Bergegas menuju ke masjid seperti yang lainnya!".
Aku langsung menyela, "Buat apa ke masjid dalam keadaan seperti ini, pak?!"
Aparat itu hanya diam seribu bahasa dan menatapku sejenak, lantas bergegas pergi tanpa ada jawaban yang kunanti.Â
"Tentu saja untuk berlindung, nak.", jawab ibu sambil mengelus kepalaku.Â
"Bukankah sama saja, bu? Baik di sini atau di masjid, ujungnya kita semua akan mati juga!", sanggahku yang mulai terengah-engah karena serangan panik.Â
"Setidaknya di rumah Allah kita bisa lebih siap menyambut kematian itu."