Waithood secara singkat adalah sebuah tren global berkenaan dengan keputusan untuk menunda pernikahan oleh generasi muda kekinian. Terlepas dari penundaan secara jangka pendek maupun panjang, keputuasan untuk waithood menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia.Â
Ini karena masyarakat kita masih kental dengan keyakinan bahwa kehidupan menikah adalah pilihan yang lebih baik daripada melajang seumur hidup. Oh, tentu yang saya maksud di sini adalah pernikahan yang sesuai dengan tuntunan agama dan hukum yang berlaku di Indonesia. Kembali ke keyakinan soal pernikahan.Â
Sampai saat ini pun masih ada istilah "perawan tua" dan "bujang lapuk" yang tidak ramah didengar. Kedua istilah yang terkesan heartless itu dilekatkan kepada perempuan maupun laki-laki yang belum menikah di usia yang tak lagi muda.
Beberapa faktor pendorong waithood di Indonesia umumnya berkenaan dengan masalah perasaan siap menikah dan berkeluarga. Siap yang dimaksud ialah siap secara fisik, mental, keuangan, ilmu, dan tentu saja karir menjadi salah satunya.Â
Terutama bagi perempuan yang berpendidikan lebih tinggi, cenderung melihat pernikahan ketika karir yang dirintis dan kondisi keuangan sudah dinilai mapan. Ada pula isu kesehatan mental yang juga tengah santer belakangan ini, turut menjadi pertimbangan bagi mereka yang memilih waithood.Â
Jika belum selesai dengan masa lalu dan mengenal diri sendiri, lebih baik waithood. Tambahkan lagi konsep sandwich generation yang dilekatkan pada generasi kekinian yang berada di rentang usia 25 hingga 40 tahun. Masih ada tanggungan orangtua, akan tambah berat jadinya untuk  menikah dan berkeluarga --apalagi ketika memiliki anak.Â
Akhirnya? Waithood sajalah. Nah, lengkap sudah rasanya formula untuk menjadi alasan generasi muda kekinian untuk memilih waithood, bukan? Pertanyaannya: salahkah demikian?
Manusia secara modal memiliki free will atau kehendak bebas untuk memilih jalan hidupnya. Namun, manusia juga dituntut untuk bertanggungjawab atas setiap pilihan yang diambil. Dalam memilih, hendaknya manusia memilih secara rasional dan bukan karena emosi semata.Â
Karena apapun pilihan yang diambil, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu itu sendiri. Melainkan juga dirasakan oleh orang lain. Terlebih jika pilihan yang sifatnya sangat personal itu dijadikan semacam gerakan, seruan, ajakan, bahkan menjadi ideologi.Â
Menurut saya, akan lebih bijak membedakan hal yang bersifat personal dan kontekstual dengan hal yang selayaknya diperjuangkan seperti halnya ideologi. Termasuk ketika seseorang yang memutuskan waithood karena beberapa alasan rasional yang sangat personal yang dimiliki.Â
Jika sebatas menjadikan waithood sebagai keputusan rasional yang bersifat sangat spesifik dan personal, maka saya rasa tidak menjadi masalah pelik. Lain cerita jika waithood mendapat justifikasi sebagai sebuah keputusan yang mutlak bahkan tren yang harus diikuti sekaligus disuarakan dengan mengerdilkan nilai penting dan manfaat pernikahan.