Bising.Â
Itulah yang saya rasakan ketika sudah memasuki usia 20 tahun ke atas. Babak kehidupan baru dimana orang pada umumnya sudah lulus dari sekolah formal tingkat atas.
Sebagian, ada yang melanjutkan kisah perjalanan hidupnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni di bangku kuliah.
Pun, ada juga di antaranya yang memilih untuk segera bekerja demi menyokong kebutuhan keluarga yang mungkin berada di pundaknya.
Namun, perjalanan melanjutkan lembar cerita kehidupan seorang perempuan di usia 20 tahun ke atas seringkali terasa bising. Bukan hanya bising yang didengar oleh indra pendengaran. Melainkan juga bising di dalam hati. Bising di alam pikiran.
Kebisingan yang saya maksud di sini adalah bising oleh ucapan-ucapan yang dilontarkan oleh kenalan, teman, sahabat, rekan kerja, tetangga, orangtua, keluarga, bahkan orang yang tak terlalu dikenal pun tak luput menyumbangkan kebisingan yang membuat jiwa dan pikiran tak tenang.
Ucapan berbentuk pertanyaan adalah yang paling sering terjadi. Ucapan berbentuk semacam nasihat (namun menggurui) pun berada di urutan selanjutnya.
Dan ucapan yang mengandung judgement atau penghakiman sepihak oleh mereka yang mungkin tidak benar-benar memahami konteks yang melingkupi. Berbagai macam pertanyaan, nasihat-nasihat yang cenderung menggurui, dan judgement itulah yang senantiasa mengiringi langkah seseorang perempuan khususnya mereka yang memasuki babak 20 tahun kehidupannya. Bising!
Mengapa perempuan? Karena sudah sejak zaman dahulu kala, perempuan mengalami penindasan baik dari segi fisik, mental, bahkan dijajah sedemikian rupa hingga menjadi budak kebodohan.
Rantai ini sangat panjang. Pun, perjuangan untuk memutusnya masih belum usai. Perjuangan yang digunakan mulai dari cara rasional sampai radikal, dirasa masih belum cukup kuat untuk membebaskan perempuan dari rantai yang gemericiknya membuat bising jiwa dan raga seorang hawa. Bahkan hingga saat ini, sadar atau tidak, diakui atau tidak, perilaku-perilaku yang demikian masih banyak dipraktikkan.Â