Mohon tunggu...
Faruq Alhasbi
Faruq Alhasbi Mohon Tunggu... -

be commUINication\r\nState Islamic Universality Yogyakarta\r\nSalatiga - Surakarta - Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tokoh: Oemar Bakri untuk Indonesia

1 Oktober 2013   13:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:09 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kian hari semakin hilang rasa nasionalisme para penduduk di Indonesia. Banyak cakap yang kita jumpai mengenai motivasi untuk menumbuhkan nasionalisme namun apakah kita menjumpai tindakan dari nasionalisme tersebut? Remaja juga mulai mengalami degradasi moral yang salah satunya karena lunturnya rasa nasionalisme. Mengapa demikian?

Sejarah menunjukkan tiga tonggak sejarah Indonesia yang harus diperingati, yaitu tanggal 17 Agustus, tanggal 19 September, dan tanggal 28 Oktober. Jika warga Indonesia sekarang dihadapkan dengan pertanyaan “19 September hari apa? 28 Oktober hari apa?”. Tanggal 17 Agustus jelas semua warga Indonesia mengetahui itu adalah tanggal Indonesia merdeka. Tanggal 19 September adalah tanggal rapat raksasa Ikada dan tanggal 28 Oktober adalah tanggal sumpah pemuda. Ketiganya mempunyai esensi yang sama, dimaana dari ketiganya dapat ditarik satu benang merah yang menggambarkan sila ketiga Pancasila. Masih adakah pemuda yang menggagas hal tersebut?

Pemuda era ini sudah tidak seperti yang digambarkan sejarah. Generasi pelaku beberapa peristiwa tersebut sudah tidak tercium lagi, dan generasi selanjutnya sudah lupa bahkan tidak menggagas permasalahan tersebut. Alhasil generasi muda Indonesia seperti saat ini yang kita temui, hanya tahu tanggal kemerdekaan Indonesia, dan kebanyakan tidak tahu tanggal-tanggal peristiwa penting yang lainnya.

Hedonispun sudah menerpa, bukan lagi memulai tapi sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada jiwa muda Indonesia, dan alhasil saya mengakui bahwa nasionalisme pemuda luntur. Pola hidup instan atau jalan pintas juga mulai dirasakan menjadi andalah para kawula muda untuk mencapai keinginannya. Dari hal ini juga merembet pada penyalahgunaan hak bersuara. Mereka lebih suka demo dan sikap anarki daripada penyelesaian masalah dengan musyawarah menuju mufakat. Sekarang yang lebih mudah ditemui seperti, main hakim sendiri hanya untuk menunjukkan taring di masyarakat, penyaluran rasa tidak puas dengan melakukan hal-hal yang bersifat destruktif, dan lebih parah ini menjadi suatu kebiasaan yang sudah tabu di masyarakat.

Sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan, yang dulu pernah dilontarkan dalam Kongres Pemuda oleh Mohammad Yamin sudah tidak kita dapati lagi. Bahwasanya 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia menyepakati kelima hal tersebut adalah pilar-pilar yang membangun sila ketiga Pancasila, yaitu pilar untuk menegakkan kesatuan dan persatuan Indonesia. Dan saat ini tentunya jika disadari kita sedang dibenturkan dengan permasalahan “apabila generasi sebelumnya tidak mampu memberikan contoh yang baik, bagaimana dengan generasi selanjutnya?”. Sedangkan yang sering menjadi pandangan kita kedepan adalah tolak ukur dari apa yang kita lihat sekarang. Apabila sekarang pemuda menjadikan konflik sebagai kebiasaan atau hobi dan hanya berorientasi untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, maka jangan tercengang esok jika pemuda generasi mendatang akan berbuat lebih dari itu karena itulah yang mereka lihat sekarang, mencontoh perbuatan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Benar kata Bung Karno bahwa kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan. Disaat kita melewatinya, tidak akan ada konflik maupun hambatan. Tetapi setelah kita sampai di ujung jembatan yang lain, maka disitulah muncul konflik-konflik karena permasalahan pribadi maupun kelompok. Lebih ironi konflik itu sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.

Sebenarnya masih terdapat banyak cara untuk kita memperbaiki apa yang sudah terjadi dan menjadi gradasi moral nasionalisme. Masih banyak hal positif yang masih bisa dilakukan oleh pemuda Indonesia seusai melewati jembatan yang disebut oleh Soekarno. Sebagai pelajar tentunya kita bisa mengisi kemerdekaan Indonesia dengan hal positif. Salah satunya dengan belajar dengan tekun, saling bersaing secara sehat untuk meraih prestasi setinggi mungkin, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia. Di sisi lain dari pendidikan, kita masih bisa mengisi kemerdekaan ini dengan mencintai produk local, membanggakan produk lokal, mencintai budaya Indonesia, dan masih banyak lagi hal positif yang bisa dilakukan.

Kehidupan untuk mengabdi memang sulit untuk difahami, terkadang kita menganggap itu menjadi misteri. Kita tentunya pernah mendengar cerita hidup para pahlawan kemerdekaan yang sudah memberi contoh bahwa demi Indonesia mereka rela mengorbankan apa saja, harta bahkan nyawanya. Seperti yang dikiaskan Iwan Fals dalam lagu Oemar Bakri. Terkadang kita sulit memahami pengorbanan dan pengabdiannya, dalam artian perjalanan hidup sejumlah orang besar yang hidupnya memang sulit dipahami. Banyak orang besar yang mengabdi untuk negeri, baik dalam bidang sosial, pendidikan, agama, lingkungan, dan seni intinya di segala lini bidang kehidupan. Ada yang berjuang menemani yang sakit sekarat karena tidak dipedulikan orang lain. Ada juga yang tak gentar mendekati dan merawat yang sakit karena kutukan leprosi. Bukan seperti yang terjadi pada Indonesia saat ini, mengambil apa saja yang dapat diambil tanpa mempedulikan orang lain, apalagi negara.
Pengabdian adalah kata yang sering dikumandangkan oleh para pemberi teladan, bukan saja karena ungkapan ini memang layak dijadikan landasan dan panutan, tetapi juga karena kata ini memang merupakan salah satu tolok ukur peradaban. Tanpa pengabdian manusia dan kemanusiaan akan kehilangan makna dan tujuan, dan yang tersisa adalah kerakusan dan keserakahan terpilin dalam satu jalinan. Kemanusiaan dan peradaban harus terus menjadikan perjuangan dan pengabdian bukan hanya sebagai landasan tetapi juga sebagai satu tolok ukur keberhasilan.

Mungkin setelah itu akan muncul lagi pertanyaan. “Lantas bagaimana ciri nasionalisme Indonesia?”. Tentunya dari pola piker dan mainset yang berbeda akan menimbulkan jawaban yang luas pula. Tetapi esensi dasar nasionalisme Indonesia adalah mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia. Pengabdian ini tidak akan muncul seperti insting, tetapi membutuhkan proses dan contoh. Bagi Bangsa Indonesia, pendidikan masih menjadi solusi utama kawula muda Indonesia agar semangat nasionalisme mereka bisa bertumbuh dan meningkat. Peningkatan ini harus kita contohkan terlebih dahulu oleh generasi sekarang. Jangan hanya menunjukkan perilaku yang semena-mena, menancapkan taring kekekaran dengan tindakan destruktif yang bukan membuat Negara ini maju akan tetapi malah membuat negara ini mundur.

Sekarang, apa yang akan kita lakukan? Tentunya kembali ke kawula muda saat ini. Apakah kita menginginkan Indonesia maju, stagna, atau mundur.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun