Duhhh hemmmmm.... Ibadah Haji, Qurban, Korupsi, Kemiskinan & Peradaban...
oleh Abu Ghibral Wiradinata pada 30 November 2009 jam 21:40
Ding....ding...ding...sebuah bunyi dari kotak elektronik mungil, menyadarkanku dari tidur lelapku. Kucari-cari sumber bunyi tersebut, ternyata ada sebuah pesan masuk. Kubaca isinya...terenyuh membaca isi pesan tersebut. Waktu menunjukan 3.15 WIB...masih di hari tasrik, ku paksakan bangun ambil wudhu dan shalat dua rakaat untuk menghaturkan syukur atas nikmat yang telah di beri sang Maha Rupawan sampai detik ini.
Isi pesan itu masih terus mengusik pikiran dan nurani...kubuka komputer yang ternyata masih nyala karena malam ketiduran... asmaul husna kuputar dengan volume yang mampu menggairahkan seluruh sel darah di tubuhku dan sangat menggetarkan kalbu.
Akhirnya, kutuliskan goresan hati ini. Sengaja di tulis dengan bahasa yang mudah di mengerti oleh semua khalayak agar dapat di koreksi dan di kritik....
Just Begin....
Rutinitas Ibadah Haji
Setiap tahun seluruh ummat Islam dari penjuru dunia berkumpul dalam sebuah hajatan yang di sebut ibadah haji, menjalankan rukun Islam kelima mengikuti jejak sunnah Rasul yang dulu di lakukan oleh para nabi-nabi terdahulu. Semuanya mengharapkan satu tujuan Mardhatillah (ridha Allah). Semuanya serempak melakukan ibadah bersama-sama baik gerakan maupun niat. Lempar jumrah, sa’i sampai wukuf di padang arafah. Yang berkumpul jutaan ummat Islam dari seluruh pelosok, ibadah yang di berlakukan hanya bagi mereka-mereka yang diberikan kemampuan, secara fisik, harta, maupun kemampuan dalam niat. Itu semua memerlukan pengorbanan yang sangat besar. Rutinitas tahunan ini berjalan terus dan akan terus berlangsung selama peradaban Islam masih ada seiring dengan umur bumi itu sendiri. Sampai tahun ini, entah sudah berapa banyak orang yang menjadi almamater aktifitas ini.
Sebagai bagian dari komunitas global, bangsa Indonesia yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia mendapatkan quota untuk jemaah haji sekitar 200 ribu orang. Memang fantastik dalam artian, setiap tahun bangsa ini menghasilkan almamater dan sudah pada taraf akhir melaksanakan rukun islam yang kelima sebanyak 200 ribu, malah tiap tahun terus bertambah dan banyak yang kecewa karena tidak kebagian tiket. Tentunya ini sangat erat kaitannya dengan sektor kehidupan lain. Secara statistik, ini menunjukan bahwa dari jumlah penduduk sekitar 200 juta ada 200 rb yang diberikan kemampuan untuk berangkat haji. Artinya dari seribu orang Indonesia satu orang bisa berangkat haji. Secara ekonomi, ini bukanlah angka yang kecil, untuk tahun ini ongkos naik haji (ONH) yang terus naik setiap tahunnya diperkirakan sekitar Rp. 30 jt jadi peredaran uang dari aktifitas ini adalah sekitar Rp. 6 trilyun, belum lagi adanya bisnis lain yang muncul akibat kegiatan ini. Tentunya ini angka yang sangat fantastis dan harus dikelola secara maksimal. Selama ini Departemen Agama yang punya kewenangan dalam pengurusan aktifitas ini terperangkap dalam situasi yang tidak menguntungkan, malah di cap sebagai Departemen paling korupsi di negara ini. Secara politik ini menunjukan bahwa kekuatan ummat Islam di dalam negeri sendiri sangat besar secara ekonomi maupun jumlahnya, sehingga ini ladang bagi kepentingan partai politik khususnya partai-partai yang menjual Islam sebagai jargon kampanyenya (politik memang menyebalkan...). Secara sosial budaya (kultur kemasyarakatan) menunjukan semakin besar kecendrungan ummat Islam di Indonesia untuk berangkat haji.
Yang coba penulis sorot adalah, selain dampak yang tadi disebut diatas, adalah dampak secara nyata terhadap nilai dan peradaban bangsa kita. Semakin banyak yang berangkat haji apakah ada kecendrungan bangsa ini semakin beradab ???
(PAUSE.....terdiam sejenak !!! sambil mengurut dada dan membaca shalawat, semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita, panglima besar revolusi sepanjang jaman, Nabi Muhammad saw. Tak terasa air hangat mengalir dari sela-sela mata).
Alinea baru......................................................................................................
............................................................................................................................................................................................................. lembaran baru ........
Hari tasrik merupakan kesempatan yang Allah swt berikan pada kita untuk semakin mengunci diri dan melepaskan belenggu dari sesuatu yang sifatnya fana dan hancur. Hendaknya di isi dengan amalan-amalan ibadah sunnah dan terus di upayakan untuk kita memberikan kurban yang sebenarnya, hiasi malam dengan kebaikan, lafadkan takbir di lisan dan seluruh rongga sel-sel darah kita setiap selesai shalat fardhu.....sungguh indah kelihatannya penuh nilai-nilai Islam apalagi ini dilakukan tidak hanya setahun sekali tapi menjadi aktifitas sehari-hari, namun kenyataan dan fakta yang ada...huuuhhhh....
Qurban makan Korban
Dalam hal ibadah kurban, diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan, Rasulullah saw sampai menegur orang yang mampu tapi tidak berqurban supaya jangan mendekati tempat ibadahnya (mesjid). Akan tetapi yang paling mudah kita temui, hampir seluruh saluruan tv dan media massa, memberitakan tentang masalah korupsi (mengambil hak orang) yang dilakukan oleh orang-orang yang pasti sudah berkecukupan, pintar dan berpendidikan, ironis memang di sisi lain ada rakyat yang jatuh pingsan, terinjak-injak berebut mendapatkan sebungkus hewan kurban yang di bagikan para panitia kurban. Hak qurban untuk para fakir miskin dan dhuafa, tapi kenapa kadang hal ini sering terabaikan, ketika proses pembagian kepada yang hak selalu kacau dan terulang setiap tahun. Panitia juga memang memiliki hak terhadap daging qurban, akan tetapi sering lebih dahulu mengamankan haknya dibandingkan hak mereka kaum dhuafa (sifat individual sudah masuk dan merusak, belum lagi kalau ada menjadikannya sebagai bisnis). Lebih bahaya ketika pemerintah menganggap ini sebuah hal yang biasa dan terulang terus setiap tahun. Harusnya mereka malu disaat mereka di nina bobokan dengan kekuasaan dan fasilitas dari rakyat, sedangkan rakyat harus jatuh bangun berjuang hanya untuk mendapatkan sebungkus daging qurban.
Di Indonesia yang kita cintai....Sejak penulis berusia kecil sampai sekarang, sering mengikuti khutbah shalat idul adha, mulai dari kampung, di kampus2, majelis, sampai di islamic center. Tema yang muncul pasti tentang sejarah dan pengorbanan nabiayallah Ibrahim as dan putranya nabiayallah Ismail as. Itu pasti terulang setiap tahun..paling ada sedikit masalah semangat pesan dan arti dari qurban. Tidak ada hal yang baru sesuai dengan konteks ke indonesia dan kondisi keummatan saat ini di era globalisasi. Kita malah di bawa ke zaman ribuan tahun ke belakang yang sebenarny kita semua sudah tahu betul dengan peristiwa sejarah dan di muat dalam kitab suci Al Qur’an. Bila sedikit bergeser ke negara lain, penulis di berikan kesempatan melihat khutbah idul adha di negara para Mullah (iran), tema kuthbah idul adha bukan membahas masalah sejarah dan kisah awal mula peristiwa qurban, tapi mengajak seluruh warganya untuk berjuang dan berkorban menguasai teknologi menghadai tantangan jaman kedepan, kuasai teknologi nuklir, teknologi informasi dan ruang angkasa. Pengorbanan bersama dalam tingkat yang disesuaikan dengan kebutuhan bangsa itu, semuanya berkorban disesuaikan dengan kemampuan dan profesinya masing masing untuk sebuah kemajuan bersama. Di sini...di saat bangsa ini sedang merana, sudah nyata tampak di depan mata. Kerusakan bangsa ini....begitu terang benderang (ngutip Istilah Prof Machfud MD/ketua MK) kebobrokan ini ada di tengah-tengah kita...kok malah cuek aja, mana jiwa kepemimpinan yang tegas dan berwibawa dari para pemimpin negeri maupun dari para tokoh agama. Yang dapat mengajak dan menggerakan ummat dan bangsa ini kepada sebuah pintu gerbang keemasan dan kejayaan. Membangun peradaban yang dahulu begitu di hormati bangsa lain....
Ibadah Haji dan Gaya Hidup
Satu sisi lagi, jemaah haji kita terlantar di saat mereka beribadah di negeri yang jauh dari sanak saudara dan kerabat. Sungguh ironi dan menyedihkan sekali. Ibadah haji sebagai sebuah perwujudan keikhlasan dan kecintaan seorang hamba kepada Tuhan-Nya. Adalah hal yang tertinggi dalam masalah Agama, dalam kitabnya Manhajul Abdin secara gamblang sang maestro KH Abdullah bin Nuh, menguraikan tingkatan-tingkatan yang harus di capai seorang hamba untuk mendekati Sang Khalik, mengupas kitab Al Ihya Ullumuddin karya Al Ghazali. Sama halnya dengan dengan pendapat Sang Abu Sangkan dalam Bukunya ”Berguru Kepada Allah”. Untuk mendekati Allah swt ada yang harus manusia tempuh dan lewati tidak bisa langsung karena kita semua memiliki masa lalu yang pasti pernah berbuat dosa. Dalam rukun Islam syahadatain harus di penuhi, Shalatnya harus tertib dan terawat, puasanya berhasil dan zakatnya tertunaikan, maka berangkat haji sudah menjadi haknya. Sekarang banyak yang ingin berangkat ibadah haji, tetapi sudahkah ke empat rukun yang lain berjalan sesuai yang Allah swt kehendaki atau hanya sekedar mengikuti nafsu belaka.
Sudah benar dan Sempurnakah yang berangkat haji sedangkan tetangga di sekitar rumahnya masih banyak yang kelaparan, kemiskinan dan kebodohan merajalela.....??? Mungkin kita perlu koreksi kembali lebih kedalam. Bukankah Rasulullah saw, pernah berkisah, pada suatu masa ketika ibdah haji berjalan, para sahabat bertanya siapakah yang mendapatkan predikat haji mabrur. Rasulullah menjawab dari sekian banyak yang berangkat haji tidak ada satupun yang mendapatkan predikat haji yang mabrur, tapi ada satu yang mendapatkan predikta haji mabrur tetapi dia tidak berangkat ke tanah suci. Para sahabat penasaran siapakah orang ini, amalan istimewa apakah yang dia lakukan ? tidak berangkat ke tanah suci tapi mendapatkan predikat haji mabrur tersebut. Ternyata dia adalah orang yang sangat santun suka menolong sesama yang berkesusahan, penuh kasih sayang dan menghormati tamu.
Pergeseran Nilai
Malah ada yang sudah berangkat haji berkali-kali, ingin berangkat lagi dengan alasan panggilan hati dan merasa dekat dengan Allah SWT kalau di tanah suci. Seakan yang lain tidak berhak untuk menikmati ibadah ini. Sangat mengiris hati...mereka merasa dekat kalau berada di Baitullah, dan khusyu beribadah sampai menangis mencucurkan air mata, ketika pulang kembali ke rumahnya tidak bisa dekat dengan Allah swt. Bukankah Rasullah saw melakukan ibadah haji pertama dan terakhir, yang penting adalah implementasi dari Ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari menyempurnakan rukun Islam ketika rukun-rukun yang lainnya sudah dilaksanakan dengan sempurna.
Nilai islam sudah bergeser menjadi sebuah identitas dan simbol-simbol, shalat memang shalat, hapal qur’an memang hapal, puasa memang puasa...akan tetapi apa yang di hasilkan dari shalatnya, hapal quran dan puasanya ?...akankah kita di akherat nanti disuruh shalat di hadapan Allah swt ?...disuruh baca quran ?...yang pasti di tanyakan dan dimintakan pertanggung jawabannya adalah hasil/implementasi dari ibadah tersebut bermanfaat tidak bagi kita dan orang-orang sekitar kita...Mana amal terbaik kita untuk Allah swt ? shalat kita ...baca qur’an kita...puasa kita...tahajud kita...Tidak itu semunya untuk kita..terus amalan yang mana untuk Allah swt...? santuni dan peliharalah anak yatim dan kaum dhuafa, tolonglah orang yang berkesusahan, Semoga kita tidak termasuk pada orang-orang yang mendustakan agama.
Ketika kebanyakan orang beranggapan bahwa dengan ibadah haji sudah sempurna iman islamnya, maka Ibdah haji menjadi sebuah prestise di kalangan masyarakat menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dari Ibadah menjadi sebuah kebanggan, termasuk gelar haji yang akan melekat pada alumnusnya. Di lingkungannya, dia akan di hargai sebagai orang yang sudah sempurna menjalankan rukun Islam dan tentu saja dianggap sebagai orang yang mampu, mengingat ibadah haji membutuhkan kemampuan yang cukup besar. Sehingga inilah yang semakin merusak dan tidak menjadikan ibadah haji ini memberikan dampak positif terhadap sebuah peradaban, tetapi malah membawa ummat dan bangsa pada keterpurukan dan kebanggaan yang absurd.