VALUASI EKONOMI KASUS BUPATI BOGOR : PEMBURU RENTE MERUSAK LINGKUNGAN
Â
Cepi Al Hakim
Â
Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bogor Rahmat Yasin di kediamannya di Jl Wijaya Kusuma 103, Kompleks Taman Yasmin Sektor II, Kelurahan Curug Mekar, Bogor, sekitar pukul 19.00 WIB, kemarin. Rahmat diduga menerima suap bernilai miliaran rupiah terkait izin Rencana Umum Tata Ruang Bogor, Puncak, dan Cianjur, sangat mengagetkan warga Bogor khususnya penulis, lebih tepatnya melukai mengingat sepak terjang beliau selama ini. Setelah 24 jam, KPK resmi menetapkan Rachmat sebagai tersangka kasus suap pengurusan izin tukar-menukar kawasan hutan seluas 2.754 hektare di Bogor, Jawa Barat. Selain Rachmat, sebelumnya KPK menangkap Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor M. Zairin dan pegawai PT Bukit Jonggol Asri (BJA) bernama Francis Xaverius Yohan Yhap. Dalam operasi tangkap tangan itu, KPK menyita uang tunai Rp 1,5 miliar di sebuah kantor PT BJA yang tak jauh dari lokasi penangkapan Zairin dan Yohan.
Â
Kenapa hal ini mengagetkan, karena Bupati Bogor dikenal sebagai pribadi yang giat dalam kegiatan lingkungan, usaha beliau dalam penertiban vila-vila liar di kawasan puncak, gerakan penanaman pohon Bogor Go Green, dll. Kabupaten Bogor mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jawa Barat sebagai Bupati pelopor dalam gerakan penghijauan. Kejadian penangkapan ini tentunya membuat masyarakat bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Dengan tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah, kita berharap kejahatan yang terjadi dapat terungkap dan para pelakunya dapat dihukum maksimal sesuai dengan perundangan yang berlaku. Rachmat dan Zairin dikenakan pasal sangkaan yang sama. Keduanya diduga melanggar Pasal 12 a atau b atau Pasal 5 ayat 2 atau 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu Kitab UU Hukum Pidana. Keduanya diduga sebagai penerima suap. Adapun FX Yohan disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Pegawai PT BJA itu diduga sebagai pemberi suap.
Valuasi Ekonomi Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi di kawasan Puncak
Â
Penulis mencoba untuk melihat dari sudut pandang sebagai aktifis lingkungan dan akademisi, khususnya yang menyangkut dengan kejahatan lingkungan yang terjadi ketika terjadinya proses tukar menukar kawasan tersebut. Dimana terjadinya alih fungsi kawasan hutan yang meliputi, Gunung Geulis, Puncak hingga ke arah Cianjur, mencakup kawasan seluas 2.754 hektar. Kabupaten Bogor, sebagai hulu Daerah Aliram Sungai (DAS) Ciliwung dan Cisadane, merupakan kawasan penyangga Ibukota Jakarta, beberapa peraturan dibuat untuk menguatkan peran penting kawasan Bogor tersebut. Beberapa peraturan tersebut adalah Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2008, Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; Keputusan Presiden No 114 Tahun 1999 Tentang Penataan Kawasan Bogor Puncak dan Cianjur (Bopuncur); dan Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2010, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat, secara jelas pada Pasal 54 menyebutkan bahwa Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lindung.
Â
Dengan berubahnya fungsi kawasan hutan menjadi perumahan elite, tentunya banyak hal yang dikorbankan, dalam hal ini kerusakan alam dan lingkungan. Sesuai dengan peraturan yang ada bahwa proses tukar menukar kawasan hutan dapat dilakukan dengan memenuhi persyarata sebagai berikut : Nilai ekologi hutan Indonesia menurut hasil penelitian Natural Resources Management (NRM), USAID (1998), adalah sebagai berikut : 1). nilai konservasi tanah dan air 37,97 US$/hektar pertahun, 2). Serapan karbon 5,00 US$/hektar pertahun, 3). Perlindungan banjir 48,64 US$/hektar pertahun, 4). Transportasi air 5,30 US$/hektar pertahun dan 5). Keanekaragaman hayati 9,45 US$/hektar pertahun. Bila mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan, Disebutkan bahwa  nilai ekonomi total dari produk dan jasa hutan sekunder di Indonesia, mencakup nilai penggunaan langsung seperti kayu, kayu bakar, produk hutan non kayu, konsumsi air. Sedangkan Nilai Penggunaan tidak langsung Konservasi air dan tanah, Penyerapan karbon, Pencegah banjir, Transportasi air, Keanekaragaman hayati serta nilai atas dasar bukan dari penggunaan adalah nilai opsi dan nilai keberadaan, untuk hutan sekunder nilai ekonomi totalnya adalahRp 28.832.650,00 perhektar pertahun, artinya kalau kawasan hutan yang akan dialih fungsikan oleh PT BJA seluas 2.754 hektar, maka potensi kerugian yang terjadi adalah sekitar Rp 79.405.118.100,00 pertahunnya, tentunya nilainya akan lebih besar lagi kalau kawasan hutan primer dan hutan lindung seperti kawasan Puncak atau Gunung Geulis. Nilai ekologi ini tidak pernah menjadi perhatian dari para pemodal (pengusaha) dan pejabat, meskipun nilai tersebut bukan angka riil.  Selain nilai ekologi yang hilang setiap tahunnya, juga jangan salah bencana yang ditimbulkan seperti longsor dan banjir menyebabkan kerugian materiil yang sangat besar apalagi sampai ada korban jiwa. Dari kasus yang menimpa Bupati Bogor terlihat bahwa Kabupaten Bogor sepertinya belum menerapkan PDRB Hijau dalam sistem pemerintahannya dan masih menggunakan PDRB Coklat, meskipun Kabupaten Bogor merupakan daerah penyangga Ibukota Jakarta, tapi tidak dikelola oleh pejabat-pejabat yang memang memiliki integritas dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan, dimana penyelesaian masalah lingkungan masih bersifat seremonial dan temporer.
Â
Â
Â
Pemburu Rente Merusak Lingkungan
Â
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.32/Menhut-II/2010 Tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, perbaharui dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 41/Menhut-II/2012 Tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, PT BJA diharuskan menyiapkan lahan penggati minimal dua kali luas lahan yang akan dibebaskan, jadi PT. BJA harus menyiapkan lahan seluas minimal 5.508 hektar di DAS yang sama atau propinsi Jawa Barat untuk dipertukarkan dengan lahan di kawasan Puncak seluas 2.754 hektar, sudahkah ini terpenuhi ? Kalaupun sudah pasti lahan tersebut berada jauh dari lokasi yang dibebaskan dan berada di pinggiran dengan harga beli yang sangat murah. Hitungan ekonomi sederhananya adalah sebagai berikut luas tanah yang dibeli PT BJA minimal seluas 5.508 hektar, dengan harga beli sekitar Rp. 10.000,- /m2 maka dana yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 550.800.000.000,- dan memenuhi administrasi lainnya termasuk perlunya rekomendasi dari Bupati Bogor. Lahan 2.754 hektar akan menjadi milik PT BJA, kalau Nilai jual objek pajak (NJOP) di kawasan sentul city Rp. 1.000.000,- /m2 maka nilai jualnya menjadi Rp.  27,5 Triliyun. Keuntungan yang begitu besar tentunya sangat menarik bagi para pemodal dan pemburu rente dengan melakukan berbagai cara untuk mendapatnya, termasuk menyuap kepala dinas dan Bupatinya.
Â
Wajar bila wakil ketua KPK Bambang Widjojanto menyebutnya kejadian ini sangat melukai hati rakyat, ditengah kemiskinan yang masih absolut, orang kesulitan mendapatkan tanah untuk perumahan dan pemukiman ada pihak yang menyuap penyelenggara negara untuk dapatkan ribuan hektar tanah memperkaya dirinya sendiri.
Â
Â