Jika berbicara mengenai kata koruptor, hal yang ada di benak kita mungkin sebuah kata yang kotor, jijik, dan destruktif. Koruptor di hadapkan pada suatu realita bahwa apa yang menjadi amanah yang di emban nya, jabatan yang seharusnya menjadi tempat dia berjuang telah di salah gunakan sedemikian rupa sehingga bermuara pada pesakitan hotel prodeo. Tunggu, barusan yang kita bahas mungkin koruptor yang sering muncul di tv, menteri, politisi, pengusaha bahkan yang merangkap pemuka agama pernah mengalaminya. Lalu bagaimana dengan definisi koruptor yang sering kita temui setiap hari? Bukankah mereka sama nistanya dengan koruptor kelas atas? Koruptor birokrasi, koruptor raskin dll yang menyangkut urusan orang banyak, apa layak mereka di diamkan begitu saja? Lalu juga bagaimana dengan sistem rekrutmen politik di negeri ini, bukankah itu menjadi pemula dari berbagai macam kasus korupsi yang ada di negeri kita tercinta ini? Mari kita bahas satu satu.
Korupsi atau rasuah menurut Wikipedia adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang di kuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Jadi bisa di ambil secara konklusif bahwa korupsi merupakan perbuatan keji yang di lakukan oleh bukan orang yang membutuhkan uang, tetapi mereka yang punya kekuasaan yang tamak serta memiliki mental dan iman yang lemah. KPK sebagai lembaga penegak hukum kasus korupsi di Negara ini setidaknya setiap bulan pasti menerima ribuan laporan masyarakat tentang adanya kecurigaan kasus korupsi baik itu di ibukota maupun daerah daerah. Kompleksitas kasus korupsi di Indonesia tidak bisa di biarkan begitu saja, jika tidak ingin menjadi bom waktu yang sewaktu waktu bisa meledak dan mengguncang keamanan dan kenyamanan Negara kita.
Jika melihat di tv, berita tentang kasus korupsi pasti di dominasi oleh pelaku politik, baik politisi, menteri, anggota dewan atau orang yang ada di lingkaran politik tersebut seperti ahmad fathanah. Lantas yang jadi pertanyaan kita, mengapa itu semua bisa terjadi? Bukankah pemain politik mempunyai banyak uang? Saya coba menganalisis, salah satu faktor mengapa begitu banyak yang terjerat korupsi karena sistem rekrutmen politik itu sendiri yang salah. Banyak yang berkecimpung di dunia politik selain kurang kompetensi, juga kurang siap secara finansial, mental & akhlak untuk menjadi pelaku politik. Politik balik modal, yaitu jika sudah jadi meraup untung sebanyak banyaknya untuk memperkaya diri sendiri sudah lumrah terjadi. Padahal secara hakiki, menjadi pelaku politik yang beriringan langsung mengurus Negara, harusnya menjadi tugas mulia dan menjadi medan untuk berjuang.
Lalu bagaimana jika yang melakukan korupsi itu adalah kita? Sudahkah kita bercermin bahwa apa yang kita lakukan selama ini jauh dari sebutan koruptor untuk kita? Kita tahu bahwa apa yang menjadi kawah candradimuka kasus korupsi berawal dari hal yang kecil, seperti contoh ketika siswa di sekolah atau mahasiswa di kampus mencontek ketika ujian, petugas kelurahan yang jika tidak di beri uang tip memperpanjang pembuatan KTP, polisi yang meminta uang damai jika sedang menilang seseorang, dan banyak hal kecil lain itu adalah embrio dari korupsi besar. Tak sadarkah kita jika sedang menertawakan tahanan KPK di TV sementara kita ini adalah koruptor juga? Terlalu naifkah kita menganggap perbuatan salah yang kita lakukan tidak sama dengan koruptor KPK?
Introspeksi diri, bercermin dan katakan apakah aku seorang koruptor? Apa aku layak di tahan seperti tahanan KPK? Karena dengan itulah kita bisa menjadi manusia yang lebih baik di kemudian hari
Semoga tulisan ini menginspirasi.
Penulis Adalah Mahasiswa Semester 5
Akuntansi Universitas Gunadarma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H