Refleksi Kunjungan ke Greja Raja Baciro
Mewartakan Perdamaian
Pada minggu 17 September 2023, tepat ketika bagaskara membakar realita, saya dan teman-teman Prodi berkunjung ke Greja Raja Baciro. Greja yang mempunyai historitsitas unik dan berdiri cukup lama [60 tahun] di tengah-tengah kota yogyakarta. Konstruksi bangunan yang modern, tapi tidak meninggalkan aspek subtilitas (makana), kompleksitas dan kesederhanaan (astetik) serta lanscap yang menawan.
Pada saat misa beberapa teman-teman saya di mohon untuk duduk di kursi paling depan dengan harapan bisa belajar, merasakan, mengamati dan menghayati setiap detail proses beribadah orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Pukul 10.00 WIB prosesi misa dimulai dengan nyanyian-nyanyian sakral, lantunan doa agung yang dilayangkan kelangit, dan sakramaen-sakramen suci agar tetap menjaga kekudusan dalam mendedikasikan dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
Diantara peribadatan dan perjamun kudus itu, yang paling berkesan, mengetuk pintu hati saya adalah tatkala pastur berfatwa dalam khotbahnya "wartakanlah perdamaian, berikanlah ampunan" kepada sanak, saudara dan seluruh manusia karena mereka gembala-gembala, dan para penghuni surgaNya. Literatur keagamaan dan wahyu Tuhan yang di turunkan oleh utusanNya selalu menawarkan dan mengandung nilai-nilai agung memberikan manfaat bagi seluruh manusia, namun menjadi hal yang berbeda jika itu di interpretasi oleh manusia itu sendiri.
Dalam semua kepercayaan atau agama yang ada di dunia, dianut oleh sebagian kecil atau besar manusia, baik eksistensinya bertahan atau yang sudah punah, terdapat konsep-konsep dan literatur yang disampaikan dengan metode oral (lisan) maupun tercatat, atau tindakan, baik secara implisit bahkan eksplisit menyuguhkan dan mewartakan perdamaian. Mewartakan perdamaian tidak semua penganut agama di dunia setuju.
Faktanya banyak aliran kepercayaan ekstrimisme dan fundamentalisme yang menganggap dan menyatakan bahwa, seseorang yang menganut dan memercayai sesuatu [tuhan di manifestasikan dalam bentuk pohon, batu, matahari, para dewa dan tuhan-tuhan lain] yang di luar kepercayaannya dianggap salah, kafir, sesat, bahkan harus (wajib) di bumi hanguskan. Hal ini terjadi karena keter-gesah-gesahan, terlalu cepat menarik konklusi dalam menginterpretasi wahyu. Sehingga yang terjadi kebenaran sepihak, menolak kebenaran dan perbedaan yang akan bahkan sudah datang, padahal kebenaran selalu bersifat holistik dan perbedaan sesuatu yang mutlak.
Kemutlakan perbedaan termaktub dalam Al Qur'an surat Al Maidah ayat 48 : yang artinya "Dan seandainya Allah menghendaki, niscaya kalian sudah dijadikan satu ummat akan tetapi Allah ingin menguji kalian atas apa yang telah di berikannya kepada kalian, maka berlomba-lomba lah dalam kebaikan".
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan itu mutlak, Allah menghendaki adanya perbedaan, penggunaan kata menggunakan "lau". lau dalam kajian ilmu nahwu (gramatika bahasa arab) atau sastra arab artinya "berandai-andai" jika pengandaian tersebut memberikan indikasi masa yang akan datang maka kemungkinan terjadinya sangat kecil. Akan tetapi jika pengandaian tersebut menggunakan suatu masa yang sudah terjadi, maka tidak akan terjadi, sementara penggunaan masa dalam ayat di atas menggunakan masa yang sudah terjadi, jadi persamaan atau satu umat tidak dapat terjadi.
Dengan demikian kita hanya bisa berusaha untuk mewartakan perdamaian dan kebaikan, karena berlomba-lomba dalam kebaikan merupakan bagian dari perintah Tuhan. Seperti yang tersurat dalam ayat diatas diakhiri dengan "berlomba-lomba dengan kebaikan", kebaikan adalah hal pekerjaan yang ditegaskan oleh semua agama yang ada di bumi. Namun kebaikan akan menjadi berbeda dari satu umat ke umat lainya atau dari satu orang ke orang lainya. Pasalnya kebaikan di anggap baik jika ia merasakan hasil dan manfaat dari kebaikan tersebut kalau tidak kebaikan tersebut sudah tidak dianggap baik lagi.
Perdamaian mutlak bersifat baik, jadi sudah tidak mengandung makna dilematis. Perintah mewartakan perdamaian ini tercermin dalam Kolose 3: 13. "Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan yang telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian".
Oleh karena itu marilah kita bersama-sama mewartakan perdamaian, berawal dari aspek terkecil yakni antar sesama teman, keluarga, ras, suku dan agama. Satu orang memaafkan dan melakukan perdamaian maka kerancuan mengurang satu di dunia, jika dilakukan oleh sekelompok agama maka kejahatan dan kebatilan semakin besar berpotensi punah. Dengan terus memasifkan serta mengintensifkan, kerukunan, kesejahteraan akan kita tuai dikemudian hari.