Mohon tunggu...
Hafid Algristian
Hafid Algristian Mohon Tunggu... Dokter - Psikiater. Temen ngobrol.

Psikiater, Urban Mental Health. Temen curhat plus ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bunuh Diri Usai Ungkap Kecurangan UN: Sistem Didik yang Depresif

14 April 2017   08:37 Diperbarui: 15 April 2017   05:00 1718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jepang sendiri pernah mengalami kegalauan akan ujian akhir untuk siswa. Pada era 1980-1990an, Jepang masih memberlakukan sistem ujian masuk yang sangat ketat bagi para calon siswanya. Meskipun telah jauh menurun pada tahun 2000an, tercatat sekitar 18.000 pelajar di bawah 18 tahun bunuh diri dalam rentang 1972-2013. Angka bunuh diri ini memuncak setiap  1 September, dimana tanggal tersebut adalah awal dimulainya masa belajar setelah liburan musim panas.

Seorang psikolog dari Universitas Temple, Tokyo, Wataru Nishida, mengatakan bahwa tidak adanya sejarah agama yang kuat di Jepang menjadi salah satu faktor resiko bunuh diri. Jepang, berkaca pada kehidupan para samurai, memiliki tradisi bahwa bunuh diri adalah suatu kebanggaan. Selain itu, Jepang adalah negara yang berorientasi pada peraturan. Tidak banyak cara untuk mengekspresikan frustasi dan konflik batin yang dialami anak muda Jepang. Sehingga, bunuh diri adalah satu-satunya jalan yang paling mudah dilakukan.

Apakah seperti ini yang kita inginkan? Menjadikan pendidikan sebagai wadah mencetak “robot” yang taat aturan, bukan membentuk manusia. Manusia terpaksa kehilangan kemampuannya untuk berempati, kehilangan nurani dalam memahami, merasakan, dan dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat intelektualitas saja. Seharusnya bukan anak didik yang menyesuaikan diri dengan kertas nilai, tapi kertas nilailah yang harus menyesuaikan anak didik.

Pendidikan sejatinya membebaskan, bukan mengenalkan bentuk “penjajahan baru,” dimana anak didiknya merasa tertekan. Pendidikan sejatinya memajukan, bukan mengebiri potensi-potensi kreatif dengan jargon keseragaman. Pendidikan sejatinya mampu menemukan bibit-bibit unggul baru, menumbuhkan mereka, dan memberi mereka kesempatan berkontribusi sebanyak-banyaknya untuk negeri ini, bukan malah melatih mereka sebagai kuli-kuli intelektual yang jago kandang.

Pendidikan sejatinya mengajarkan nilai-nilai moral, budaya, dan etika bangsa, agar generasi mudanya memiliki daya saing tinggi tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. 

Bukankah seperti ini yang kita cita-citakan? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun