Gunung Sinabung belum berhenti mengalami erupsi. Penderitaan  yang diakibatkannya kepada penduduk di sekitar Sinabung sangat berat dan berkepanjangan. Puluhan ribu warga sudah kehilangan desa dan rumah tangganya, kehilangan tanah/ladang pertanian beserta seluruh ternak peliharaannya. Sebagian yang sudah mendapatkan hunian tetap bertahan di sekitar daerah relokasi Siosar. Sebagian lagi saat ini tinggal di Huntara atau hunian sementara.
Sudah sejak tahun 2010 saat pertama terjadi letusan Gunung Sinabung sampai saat ini tahun 2018. Letusan atau erupsi yang paling baru terjadi lagi pada Hari Senin tanggal 19 Februari kemarin. Inilah Erupsi yang paling dahsyat. Karena letusan ini menimbulkan kolom debu yang paling besar dan tinggi. Menurut  catatan BMKG, ketinggian kolom debu sampai 5000 meter dan sempat mengakibatkan kedaan gelap seperti malam pada sekitar jam 10 pagi di desa sekitar Gunung Sinabung.
Beberapa jam debu itu ada di udara, lalu jatuh ke bumi mengempas dan menutupi semua yang ada di bawahnya di sekitar Gunung Sinabung, khususnya di daerah yang menjadi lintasan angin berembus saat itu.
Udara pekat dan kotor membuat sesak pernafasan. Sehingga pada dua hari Senin dan Selasa kemarin, seolah kiamat terjadi.
Perhatikan lah gambar di bawah, bagaimana tanaman tomat yang sangat subur tertupi debu vulkanik dengan ketebalan sekian sentimeter. Tertutuplah harapan, hancur lah angan-angan penduduk Sinabung yang tadinya tinggal di daerah bukan zona bahaya. Tanaman yang sudah ditanam pun tampaknya akan layu dan mati, meninggalkan luka di hati dan utang terhadap modal yang sudah dipakai habis. Sebagian besar modal kerja itu diperoleh dengan meminjam ke ke kerabat atau pun ke bank yang tersedia di Desa Kecamatan atau memakai sisa tabungan yang ada.
Namun pada sore harinya, sesuatu terjadi. Hujan lebat mengguyur semua tanah dan atap rumah, jalanan dan ladang pertanian yang terimbas debu vulkanik yag mungkin puluhan tahun kemudian akan menjadi pupuk yang sangat menyuburkan, dibilas, dan dicuci.Â
Dimulai dari Kecamatan Tiga Binanga hujan lebat datang, terus mengarah ke arah Batu Karang, Perbaji, Tiga Nderket. Debu-debu yang ada di halaman desa dan atap rumah pun dikikis habis. Yang paling menakjubkan adalah debu yang tadinya seolah datang mengutuk semua tanaman pertanian pun dikikis habis menyisakan kehijauan  nan segar dan memberi hidup. Perhatikan lah gambar dibawah, hijau tanaman tomat milik keluarga Ginting Mergana di Desa Perbaji seolah tersenyum segar menawarkan harapan.
Sayup-sayup  jeritan ibu-ibu dan anak-anak dalam pingko pingko (tangisan yang bernada meminta atau  memohon) kapan kah berhenti erupsi Sinabung ini Tuhan, kapan berhenti penderitaan kami? Saat itulah seolah dengan jelas Tuhan menjawab, "Sekarang anakku". Dan Tuhan pun seolah menjawab dengan tangisan belas kasihan-Nya dalam hujan yang Dia turunkan. Sebab, di zaman dulu hujan sering dipahami sebagai air mata dewa-dewa. Saya pun yakin mukjizat sudah mulai terjadi di Gunung Sinabung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H