Membaca naskah kuno berarti membaca sebuah tulisan yang usianya puluhan tahun. Menurut UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 pada Bab 1 Pasal 2 (dalam Susilawati, 2016) disebutkan bahwa naskah kuno atau manuskrip merupakan dokumen dalam bentuk apapun yang ditulis tangan atau diketik yang belum dicetak atau dijadikan buku tercetak yang berumur 50 tahun lebih.
Usia tersebut dapat mempengaruhi banyak hal dalam pembacaan naskah, baik aksaranya yang kuno hingga sulit diartikan di zaman sekarang, bahasa yang digunakan, atau tinta yang memudar pada alas tulisan.
Naskah adalah suatu wujud konkret berupa tulisan tangan yang berisi gagasan, ide, dan perasaan penulis masa lampau yang memiliki nilai tinggi.
Gagasan, ide dan perasaan tersebut dituangkan dalam tulisan kemudian diwariskan sebagai pelajaran atau pedoman dalam menjalani hidup.
Terdapat tiga aspek dalam mengkaji naskah antara lain kodikologis, tekstologis dan sosiologis. Ketiga aspek tersebut mengkaji naskah kuno sesuai dengan kapasitasnya sebagai sebuah warisan zaman dulu.
Pembahasan mengenai teks pada naskah kuno dikaji dalam bidang tekstologi. Secara garis besar, Baried (1985) membagi teks menjadi tiga macam antara lain, 1) teks lisan, 2) teks naskah tulisan tangan, dan 3) teks cetakan.
Macam-macam teks tersebut mengalami proses penciptaan dan pembacaan yang berbeda. Pada teks lisan, naskah yang dihasilkan berupa dongeng atau nasihat yang didapatkan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Sedangkan teks naskah tulisan tangan dan teks cetakan memiliki wujud yang dapat dilihat dan dibaca.
Naskah tulisan tangan maupun cetakan ini berusia puluhan tahun sehingga untuk membacanya, dibutuhkan ketelitian baik dari segi aksara maupun bahasa yang digunakan. Untuk membaca naskah tulisan tangan atau cetakan secara lebih mudah, terdapat suatu proses yang disebut transkripsi dan transliterasi.
Transkripsi dan transliterasi merupakan salah satu cara untuk mempermudah pembacaan pada teks naskah kuno. Transkripsi atau alih ejaan adalah pengubahan dari satu ejaan ke ejaan lain. Hal ini dilakukan untuk menyarankan lafal bunyi unsur bahasa yang bersangkutan.
Dalam kegiatan transkripsi, ejaan yang digunakan pada suatu teks dibaca perlahan kemudian ditulis ulang menjadi ejaan yang sekarang ini digunakan. Misalnya, pada teks naskah "Wawacan Piwoelan" yang menggunakan ejaan van ophuisjen karena teks tersebut ditulis pada saat ejaan tersebut digunakan, dapat dilakukan alih ejaan supaya pembacaan naskah Wawacan Piwoelang lebih mudah.
Dengan demikian, jika saat ini dilakukan alih ejaan pada naskah tersebut, maka ejaan yang digunakan adalah Ejaan Bahasa Indonesia. Jika alih ejaan ini dilakukan pada tahun 1974 misalnya, maka ejaan yang digunakan adalah Ejaan Soewandi, dst.