Korean Wave: dari Antipati hingga Refleksi Diri

Korean Wave, ketika hampir semua teman bahkan ibuku sendiri "terjerumus" ke dalamnya, aku dengan teguh enggan sama sekali menyentuhnya. Iya, aku yang berusia sembilan tahun itu terbilang anti dengan segala macam korea-koreaan. Dipaksa menonton music video? Sudah pasti, Kokobop - EXO mp4 hasil download temanku itulah saksi bisu nya. Dipaksa menonton K-drama? Mamaku sudah khatam The Heirs dua puluh episode, dan tidak bosan menyeretku untuk turut serta. Tapi apakah hatiku luluh? Tentu tidak! Dalam pikiranku, untuk apa menonton drama berjam-jam itu sedangkan materi di sekolah pun belum tuntas aku pelajari. Untuk apa mengikuti perjalanan suatu group band sedangkan buku-buku di mejaku masih sebagian yang tersentuh. Namun, bak kerakal yang tujuh hari tujuh malam terkena tempias hujan, pendirianku luluh juga. Itu adalah hari ketika aku (tanpa sengaja, walau keterusan) menonton K-drama yang ditayangkan oleh salah satu stasiun tv swasta Indonesia. Drama itu bercerita tentang kehidupan dari empat keluarga kaya yang tinggal di kompleks mewah bernama Sky Castle. Itulah K-drama yang berhasil menjerumuskanku ke pusaran Korean Wave. Cerita yang dibawakan benar-benar berhasil menarik perhatianku. Mulai dari intrik materialistis, ambisi meraih pendidikan bergengsi, tindakan menghalalkan segala cara, memaksakan kehendak, penggunaan metode manipulatif---dan realitas kelam lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu. 

Aku merasa ada sedikit kesamaan antara aku dan anak-anak dalam drama Sky Castle itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah ambisi akademik yang tinggi---ini pula yang sebenarnya menahanku dari euforia Korean Wave sebelumnya. Bedanya, aku menjalani ini semua atas pilihanku sendiri, tanpa ada tekanan dari orang tua, sedangkan anak-anak itu, bahkan kita tidak tahu apakah itu sejalan dengan preferensinya atau tidak. Mereka hidup di bawah bayang-bayang tekanan yang tidak dapat dikompromikan. Tidak ada yang tahu apakah sebetulnya mereka memiliki mimpi di bidang x atau y atau z, yang pasti, mereka harus menuruti kemamuan orang tua mereka. Apalah arti dari kebahagiaan sejati apabila segala sesuatunya didasarkan pada pencapaian material. Prosesnya yang seringkali bersifat manipulatif itu semakin menghilangkan kebermaknaan dari pencapaian itu sendiri. Hal ini seakan membuka mataku bahwa di luar sana banyak anak seusiaku yang belum merdeka dalam memilih. Belum merdeka dalam menjelajahi potensinya sendiri. Jika dikaitkan dengan teori konsep diri Carl Rogers, seharusnya diskrepansi antara self-image (pandangan seseorang atas diri mereka saat ini) dan ideal-self (pandangan seseorang atas diri mereka yang seharusnya) tidak begitu besar, sehingga mereka bisa menjadi manusia yang fully functioning.

Apabila dilihat dari sisi psikologis, sebetulnya anak-anak itu juga tidak dapat disalahkan karena enggan memberontak, menuntut keadilan kepada orang tuanya. Proses aktualisasi diri mereka dapat dikatakan terhambat karena tumbuh dengan conditional positive regard dari orang tuanya. Anak dengan self-image yang baik dan mengetahui dengan jelas tujuan hidupnya, tumbuh dari pengasuhan yang memberikan respons positif tanpa syarat (unconditional positive regard). Apapun keinginan sang anak, apapun yang dilakukannya, selama berada dalam koridor yang benar akan selalu didukung. Itulah yang membentuk kepercayaan diri serta mentalitas positif anak. Sedangkan pemberian respons positif bersyarat (conditional positive regard) akan menghambat sang anak untuk tumbuh menjadi dirinya sendiri, dan terus menerus hidup di bawah bayangan eskpektasi eksternal.

Bayangkan, dari satu K-drama saja ada banyak hal yang bisa dipelajari dan dianalisis. Jadi, asumsi bahwa terbawa dalam Korean Wave hanya akan menyita waktu kita itu tidak sepenuhnya benar, bukan, teman-teman? Semuanya kembali lagi pada diri kita masing-masing. Aku sendiri melihat K-drama ini sebagai media hiburan ketika butuh relaksasi sejenak dari kesibukan sehari-hari, sekaligus sarana mendapat pembelajaran baru! K-drama ini juga menjadi ajang berkaca dan refleksi diri bagiku. Misalnya, dari Reply 1988 aku belajar untuk menghargai waktu dengan orang-orang tersayang selagi ada kesempatan. Aku juga kembali diingatkan bahwa seringkali, kebahagiaan hadir dalam momen-momen kecil yang penuh kasih. Kehangatan, keceriaan, serta penggambaran dari perjuangan orang tua untuk anaknya dari K-drama ini menjadi bahan bakar terbarukan yang siap mengisi tangki kemalasanku dalam belajar. Bagiku, dua K-drama di atas lebih dari sekadar tontonan hiburan. And Korean Wave makes me see parts of life I never noticed before!