Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Standar Ganda Persekusi

15 Juni 2017   13:35 Diperbarui: 15 Juni 2017   13:40 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki latar belakang beda suku, budaya dan agama. Ditambah lagi dengan jumlah penduduknya yang berjumlah kurang lebih 250.000.000 jiwa menjadikan Indonesia kaya akan pemikiran dan gagasan yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini merupakan aset yang sangat berharga yang dimiliki negeri ini dalam pembangunan nasional. Disamping itu, hal ini bisa menjadi bencana bila tata kelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta penegakan hukum justru buat gaduh.

Dinamika perpolitikan Indonesia turut andil menentukan kondusif atau tidaknya suatu negeri. Penulis dan pembaca pun bisa merasakan banyak hal yang terjadi pasca berlangsungnya pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu. Tidak hanya karena kalah dalam petarungan pilkada DKI Jakarta, gubernur petahana Ahok pun harus menerima kenyataan putusan hakim untuk kasus penodaan agama Islam yang ia lakukan saat kunjungan dinasnya sebagai gubernur ke Kepulauan Seribu. Hakim dengan keyakinannya dan berdasarkan fakta persidangan memutus pidana kurungan penjara selama dua tahun terhadap Ahok.

Pasca kekalahan petahana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dan ditetapkannya Ahok sebagai terpidana kasus penodaan agama Islam, kita lihat banyak hal yang terjadi di Indonesia. Diantaranya muncul berita yang menyita perhatian publik hari ini, yaitu dugaan terlibatnya Firza Husein (FH) dan Habib Riziq Syihab (HRS) dalam percakapan chattingdi whatsapyang bermuatan porno. Berita ini sudan viral di dunia maya dan memunculkan pihak pro dan kontra di tengah masyarakat.

Kasus tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan politik balas dendam pasca kekalahan Ahok di pilkada DKI Jakarta dan persidangan kasus penodaan agama Islam. Disaat yang bersamaan, bermunculan sejumlah orang yang menyebarkan ujaran kebencian terhadap HRS. Beberapa diantaranya yaitu oleh dr. Fiera Lovita seorang dokter di RSUD Kota Solok dan remaja usia 15 tahun berinisial PMA salah satu warga Cipinang Muara, Jakarta.

Kedua orang tersebut di atas telah melakukan penghinaan terhadap HRS dan menyebarkan ujaran yang dinilai menimbulkan provokasi umat Islam. Tersebar video PMA yang dipukul oleh dua orang warga setempat dikarenakan PMA tidak mau meminta maaf setelah menghina HRS. Lain halnya dengan dr. Fiera, beliau diminta sejumlah warga untuk tidak tinggal di daerah Kota Solok pasca dr. Fiera menyampaikan ucapan penghinaan terhadap HRS. Sejak kejadian ini, istilah persekusi ramai diperbincangkan baik di media cetak maupun elektronik.

Apa itu Persekusi?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah atau ditumpas. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, bila mengacu pada KBBI yang paling dekat mendefinisikan persekusi pada KUHP pasal 335 ayat 1 butir 1 dinyatakan bahwa, "barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan atau dengan memakai ancaman kekerasan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."

Istilah persekusi yang berkembang di tengah masyarakat, lebih cenderung dikaitkan dengan isu SARA. PMA dan dr. Fiera disebut-sebut sebagai korban persekusi oleh media mainstream. Pelaku persekusi berasal dari oknum warga masyarakat yang tidak terima kedua orang tersebut menghina HRS. Hal ini menyangkut harga diri ulama dan habaib yang tidak boleh dicela.

Standar Ganda Persekusi

Pembaca yang budiman, kalau kita jeli menyimak persoalan persekusi yang saat ini sedang marak dibicarakan, kita akan melihat aparat penegak hukum memiliki standar ganda dalam menentukan perbuatan persekusi itu sendiri. Duduk perkara kasus PMA dan dr. Fiera bermula ketika mereka menyebarkan ujaran kebencian dengan menghina HRS. Selanjtunya sangat jelas aparat terkesan mendiamkan dan lamban merespon kasus ini. Oknum masyarakat yang tidak mampu menahan diri kemudian melakukan main hakim sendiri.

Kejadian main hakim sendiri sebenarnya tidak boleh terjadi. Konsekuensi dari hal ini keadilan hukum di Indonesia harus ditegakkan sehingga tidak ada yang berbuat sewenang-wenang melanggar hukum. Bukankah sudah ada aturan mengenai hate speech(ujaran kebencian)? Ada yang aneh dalam kasus persekusi akhir-akhir ini, kalau kita melihat dengan jujur, kondisi hari ini cenderung bagi mereka yang menghina ulama dan habaib kalau tidak dikatakan tidak diproses, sangat lamban ditindak oleh aparat. Lain halnya terhadap penegakan hukum kepada oknum masyarakat yang melakukan persekusi karena tidak terima ulama dan habaib dihina atau dilecehkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun