Korea utara selama beberapa dekade terakhir di bawah pemerintahan Kim Jong-Un melakukan serangkaian pengembangan dan pengujian senjata nuklir, hal ini dilihat sebagai suatu ancaman bagi dunia internasional terutama negara-negara yang berafiliasi dengan Korea Selatan. Kepemilikan senjata nuklir oleh Korea utara merupakan sesuatu yang perlu menjadi perhatian khusus dikarenakan sering kali Korea Utara melakukan ancaman serangan nuklir kepada negara yang dirasa menentang Korea Utara terutama Amerika Serikat
Amerika Serikat merupakan sekutu utama dari Korea Selatan dan negara yang memiliki kapabilitas nuklir terbesar kedua setelah Rusia, hal ini mengakibatkan sebuah ancaman serius perang nuklir apabila Korea utara melancarkan serangan nuklir kepada Amerika Serikat maupun sekutunya. Maka dari itu Kebijakan Amerika Serikat terhadap tindakan yang dilakukan oleh Korea utara merupakan salah satu perhatian penting dalam mendalami isu perdamaian di Semenanjung Korea.
Arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Korea Utara bergantung pada presiden Amerika Serikat. Setiap presiden Amerika Serikat yang terpilih memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghadapi ancaman dan tekanan dari Korea Utara. Pada masa presiden Barrack Obama, ia menggunakan "Strategic Patience" yang merupakan kebijakan yang mengandalkan sanksi dan spionase untuk menekan Korea utara menghentikan program pengembangan senjata nuklir mereka atau denuklirisasi.
Presiden Barrrack Obama menggunakan pendekatan ini dengan harapan bahwa Korea utara akan mendapat tekanan dari sanksi ekonomi dan isolasi internasional dan melakukan negosiasi dengan Amerika serikat, ia juga menekankan bahwa sebelum terwujudnya denuklirisasi tidak akan adanya hubungan diplomatis dan ekonomi dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Walaupun begitu pada akhirnya kebijakan ini gagal dan Korea utara tetap melanjutkan program nuklir mereka.
Presiden Donald Trump yang berasal dari partai Republik pada awal masa jabatannya memiliki pendekatan yang sama dengan presiden Obama dan ia juga menambahkan pendekatan barunya yaitu "Maximum Pressure" Â yang bertujuan untuk meningkatkan sanksi dan isolasi kepada Korea utara. Ia juga menyampaikan serangkaian hujatan seperti sebutan "Rocket man" kepada Kim Jong-Un dan mengancam melakukan Fire and Fury apabila Korea utara tetap melancarkan uji coba pada senjata nuklir mereka.
Meski pada masa awal pemerintahan Donald Trump terlihat seperti bertentangan dengan pemerintahan Korea utara, tetapi Donald Trump berhasil mewujudkan pertemuan langsung dengan Kim Jong-Un pada tahun 2018 di Singapura. Dimana pertemuan ini disiasati oleh keinginan presiden Kim Jong-Un untuk bertemu dengan presiden Donald Trump, dalam pertemuan ini Korea utara menjelaskan keinginan untuk denuklirisasi semenanjung Korea sesuai deklarasi Panmunjom 2017.
Pertemuan kedua lalu dilakukan pada tahun 2019 di Hanoi untuk membahas kesepakatan denuklirisasi, namun pertemuan ini tidak menghasilkan perjanjian yang berarti dikarenakan permintaan penghapusan sanksi Korea utara untuk denuklirisasi dirasa kurang menguntungkan bagi Amerika serikat sehingga tidak ada perjanjian yang terbentuk antar kedua negara. Meski begitu pertemuan ini masih dinilai positif dikarenakan Donald Trump merupakan presiden pertama yang bertemu langsung pemimpin Korea Utara selagi menjabat sebagai presiden. Hal ini semakin diperjelas ketika kunjungan Donald Trump ke demilitarized zone (DMZ) antara Korea Utara dan Korea selatan yang menjadikan Donald Trump menjadi Presiden pertama yang berkunjung ke Korea Utara
Setelah Donald Trump kalah pemilu dari Joe Biden yang berasal dari partai yang sama dengan Obama yaitu demokrat pada tahun 2021, Joe biden berusaha membuka komunikasi dengan Korea Utara tetapi tidak di beri tanggapan oleh Korea Utara dan akan terus menolak berhubungan.Â
Melihat ini Joe Biden memilih untuk melakukan serangkaian penguatan kerja sama militer dan memperkuat hubungan antara aliansi untuk mencegah ancaman nuklir dari Korea Utara. Ia terus menekankan upaya denuklirisasi Korea Utara. Hal tersebut di Respons oleh Korea utara dengan terus mengembangkan senjata nuklir mereka yang lalu dilakukan uji coba pada tahun 2022 di Selat Korea.Â
Dapat dilihat dari perbedaan sikap yang di pilih oleh ketiga presiden tersebut dalam menanggapi ancaman Korea Utara, hal ini membuat pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 2024 akan menjadi parameter kebijakan yang di ambil oleh Amerika Serikat dalam berhubungan dengan Korea Utara. Pilpres Amerika Serikat kali ini menandingkan antara Donald Trump melawan Kamala Haris yang menggantikan Joe biden. Presiden yang terpilih akan memberikan arah baru dari kebijakan Amerika Serikat di Semenanjung Korea.
Jika Donald Trump terpilih, terdapat kemungkinan kembalinya diplomasi oleh kedua belah pihak dilakukan dikarenakan telah terjadi pertemuan terdahulu. Terdapat juga kesempatan untuk melakukan negosiasi dalam mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak. Sedangkan Kamala Haris yang merupakan wakil presiden Amerika Serikat saat ini dirasa akan mendapat respons yang sama seperti Joe biden yaitu Korea utara menolak untuk melakukan negosiasi, meski hal ini hanya sebagai praduga.
Maka dari itu dapat dilihat bahwa presiden terpilih dari Amerika Serikat sangat mempengaruhi hubungan dan Upaya untuk melakukan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Dengan presiden dari Republik seperti Donald Trump cenderung dapat memiliki peluang untuk melakukan negosiasi secara damai dalam upaya denuklirisasi Korea utara, sedangkan dari presiden dari partai Demokrat yaitu Obama dan Joe Biden akan mengalami kesulitan untuk melakukan negosiasi dan hanya dapat melakukan pencegahan dari ancaman Nuklir di Semenanjung Korea.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H