Sangketa Laut China Selatan merupakan isu global yang terus diperbincangkan oleh masyarakat internasional selama beberapa dekade belakangan ini. Kekayaan sumber daya alam dan lokasi strategis jalur penghubung perniagaan Asia, tentunya membuat negara negara sengketa berusaha mempertahankan kedaulatan teritorial merea disana. Klaim historis China atas laut China Selatan pertama kali di canangkan pada tahun 1947, yang dimana berdasarkan catatan sejarah dinasti Han bahwa wilayah laut China Selatan merupakan bagian dari Nine Dash Line. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan aturan United Nations Convention on the Law the Sea (UNCLOS) 1982 yang mengatur hukum laut dimana diantaranya merupakan  batas-batas yurisdiksi negara dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE). Negara- negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan seperti Brunei,Malaysia,Filipina,Singapura,Taiwan,Vietnam, dan Indonesia tentunya keberatan dan menolak klaim sepihak China atas laut China Selatan karena menganggu kedaulatan teritorial laut mereka. hal ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana negara yang bersangketa berusaha mempertahankan kedaulatan  teritorial mereka.
Keputusan yang terdampak Â
Mengingat konflik ini terjadi karena permasalahan perbatasan wilayah laut,maka upaya pertama yang dilakukan adalah membawa kasus ini ke dalam UNCLOS yang membentuk hukum laut untuk negara-negara didunia. Hal ini yang dilakukan oleh Filipina dengan mengajukan keberatan atas klaim dan aktivitas yang dilakukan oleh China dilaut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS. Baik Filipina maupun China meratifikasi UNCLOS pada 8 Mei 1984 sedangkan China pada 7 Juni 1996, maka kedua negara terkait dalam penyelesaian sengketa yang terdapat pada bab XV konvensi terkait permasalahan penafsiran dan penerapan konvensi. Dalam sidang yuridiksi pada tahun 2015, pihak China sama sekali tidak mengirimkan perwakilan dan menolak segala proses hasil persidangan. Hasil persidangan dari Mahkamah Arbitrase UNCLOS menjelaskan bahwa China untuk menghentikan klaim dan aktivitas di Kawasan Laut China Selatan. Meski hasil ini mengikatkan  kepada kedua belah pihak, tetapi mahkamah arbitrase tidak memiliki kekuatan untuk memaksa China untuk menerapkannya. Maka dari itu pemerintah China menolak segala Keputusan dan tetap menyatakan klaim mereka atas laut China Selatan.
Debt Trap DiplomacyÂ
Meski bersengketa dengan negara-negara Asia Tenggara, Pemerintah China tetap menjalin kerja sama dengan proyek mereka yaitu Belt and Road Initiative (BRI). Kerja sama tersebut dilakukan oleh China dengan memberi pinjam dana dan bantuan untuk membangun infrastruktur negara demi kemajuan negara tersebut. Walaupun terlihat China berusaha membantu dan menjalin hubungan baik dengan negara tersebut, ternyata hal ini merupakan strategi dari pemerintah China negara-negara tersebut terjerat dalam Debt Trap. Debt Trap Diplomacy sendiri pertama kali di populerkan oleh Brahma Chellaney pada artikel yang ia buat tahun 2017. Â Ia melihat bahwa Proyek BRI oleh pemerintah China bertujuan bukan untuk membentuk ekonomi negara tersebut, tetapi bertujuan memfasilitasi kepentingan China di negara tersebut. Semakin negara berhutang kepada China maka semakin kuat kekuatan tawar menawar China pada negara tersebut.Debt Trap Diplomacy tentunya juga di terapkan kepada negara-negara sengketa laut China Selatan. Seperti Contohnya Malaysia yang termasuk dalam proyek BRI dari China, Pemerintah China memberikan bantuan sebesar 22 miliar dolar untuk Pembangunan infrastruktur kepada pemerintah Malaysia pada tahun 2014. Meski begitu Masyarakat Malaysia menilai Pembangunan tersebut sia-sia dan hanya menguntungkan pemerintah China.Keterikatan hutang kepada pemerintah China tersebut membuat pemerintah Malaysia tidak dapat berbuat banyak atas perilaku China di Kawasan laut China Selatan, hal ini terlihat meski tetap ada penolakan atas klaim China tetapi tidak adanya Langkah lebih lanjut dalam melawan klaim tersebut oleh pemerintah Malaysia.
Apakah Indonesia jatuh ke jebakan yang sama ?
Indonesia Merupakan salah satu negara yang bersengketa dalam laut China selatan dengan China, meski Indonesia bukan negara penggugat, tetapi wilayah laut utara Natuna termasuk dalam Kawasan yang diakui oleh Pemerintah China dalam Nine Dash Line , dimana klaim tersebut tentunya ditolak oleh Indonesia dan menyatakan bahwa laut Natuna utara merupakan wilayah kedaulatan dari Indonesia.Tentunya bukan hanya Malaysia yang menjadi target dalam debt trap diplomacy, Indonesia termasuk dalam lingkup tersebut. Lalu apakah Indonesia terjerat dalam jebakan yang sama ? Sayangnya Indonesia saat ini telah menjajakan kakinya dalam jebakan ini, mengapa demikian ? Hal ini dapat dilihat dari beberapa bantuan dan kerja sama yang diberikan oleh pemerintah China kepada Indonesia, Salah satunya adalah kereta cepat Jakarta Bandung. Sebelumnya proyek kereta cepat Indonesia merupakan bentuk kerja sama Government to Goverment dengan Pemerintah jepang, tetapi pemerintah China memberikan penawaran lebih menarik bagi pemerintah Indonesia.Kerja sama Indonesia dan China ini berbentuk Business to Business yang membuat pemerintah Indonesia tidak berhutang kepada China tetapi bersama-sama memberi anggaran dalam pembangunan kereta cepat. Masalah utama ada pada pembangunan proyek Kereta Cepat Whoosh diperoleh dari dana pinjaman China Development Bank (75%). Sedangkan 25% merupakan setoran modal pemegang saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) (60%) dan Beijing Yawan HSR Co. Ltd. (40%). Selain meminjam kepada bank pemerintah China, Indonesia turut hanya memiliki 60% saham dari kereta cepat di negara mereka sendiri. Yang dimana hal ini merupakan sebuah kerugian bagi Indonesia dalam kepemilikan Indonesia atas infrastruktur di negara mereka sendiri. Meski Indonesia tetap memiliki pengambilan Keputusan tersebar dalam KCIC karena memiliki 60% saham, hal ini dapat menjadi bumerang ketika salah satu BUMN menjual saham atas kereta tersebut ke Perusahaan China atau lain. Permasalahan lainnya seperti kasus Malaysia, dengan adanya utang dan keterikatan pada pemerintah China dapat membuat kekuatan tawar menawar Indonesia dalam diplomasi dengan China turut berkurang. Hal ini merupakan sesuatu yang buruk dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia terutama Kawasan laut  China Selatan.
SaranÂ
Maka dari itu Indonesia perlu mengurangi ketergantungan ekonomi pada China dengan diversifikasi sumber pembiayaan proyek infrastruktur, melibatkan negara-negara lain atau lembaga keuangan internasional. Memperkuat diplomasi dan kerja sama internasional, khususnya dengan negara-negara ASEAN dan kekuatan besar lainnya, juga penting untuk mengimbangi pengaruh China.Selain itu, Indonesia harus mengoptimalkan potensi domestik dengan memprioritaskan penggunaan sumber daya dalam negeri dan mengembangkan teknologi lokal. Untuk menegaskan kedaulatan maritim, penguatan kehadiran militer dan patroli di wilayah perairan yang diklaim harus ditingkatkan. Transparansi dan akuntabilitas dalam proyek infrastruktur juga harus dijaga melalui proses peninjauan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan audit reguler. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengurangi risiko terjebak dalam diplomasi utang dan mempertahankan kedaulatan serta kepentingan nasionalnya di Laut China Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H