Mungkin ada yg aneh, knp saya menulis opini ttg dunia pendidikan di kanal bola. Ini karena saya melihat ternyata ada kesamaan nasib antara siswa-siswi peserta UN dengan pesepakbola di Indonesia, yg intinya sm2 TRAGIS dan menjadi korban keserakahan & kelinci percobaan petinggi2 negeri ini, atau kl di sepakbola berarti para petinggi2 di federasi & klub. Beberapa persamaan itu diantaranya adalah:
1. Sama-sama tidak pernah diperhatikan nasibnya
Seperti yg kita ketahui, para pelajar di negri ini tdk pernah diberikan sarana & prasarana yg memadai utk menunjang kegiatan belajar mengajar mreka. Lihat saja berapa banyak sekolah2 di daerah yg rusak bahkan terancam ambruk. Belum lg sekolah2 yg terancam digusur krn mslh kepemilikan lahan sekolah yg mestinya tdk blh smp mengganggu kegiatan belajar mengajar. Tetapi, mreka selalu dituntut utk berprestasi tinggi, pdhl biarpun mreka brprestasi, blm tntu mreka diberi kmudahan utk mengenyam pendidikan yg layak krn ujung2nya duit. Begitupun dgn pesepakbola di Indonesia, baik lokal maupun asing. Mreka dihadapkan pd jadwal latihan & pertandingan yg ketat dgn tuntutan harus slalu menang, tetapi kesehatan & kesejahteraan mreka tdk pernah diperhatikan oleh klub maupun federasi. Lihat saja kasus2 tunggakan gaji pemain, yg bahkan sudah ada yg smp meninggal dunia krn tdk pny uang utk berobat, sementara gajinya tdk prnah dibayarkan. Belum lg mslh perawatan cedera pmain yg sbenarnya krusial, namun msh dipandang sbelah mata oleh klub2 di Indonesia, sehingga tdk jarang pemain cdera bknnya sembuh, mlh tambah cdera krn perawatan yg asal2an.
2.Sama-sama selalu dituntut utk berprestasi, tapi bkn utk dirinya
Sudah menjadi rahasia umum kl UN sbenarnya cm proyek depdikbud dlm menaikkan rating pendidikan Indonesia supaya melebihi negara2 ASEAN lain. Dengan semakin tingginya nilai kelulusan UN & jumlah siswa yg lulus, dianggap merupakan prestasi bg dunia pendidikan Indonesia. Padahal, itu cuma prestasi semu yg bahkan tdk dinikmati oleh pihak yg berkorban stengah mati demi mencapai prestasi tersebut, yaitu para siswa. Justru prestasi dunia pendidikan Indonesia tersebut mlh jd beban berat bg para siswa dr tahun ke tahun karena mreka dipaksa utk menjaga, bahkan menaikkan prestasi tersebut, yg sbenarnya cm dinikmati oleh orng2 depdikbud. Akhirnya, bnyk siswa yg stress bahkan bunuh diri jika gagal UN hny karena ambisi depdikbud yg cm berorientasi pd hasil, bkn pada proses pendidikan itu sendiri. Apalagi dgn UN yg dijaga oleh polisi sperti skrng, mlh makin membuat siswa stress krn takut kl ktauan mencontek, mreka bkl ditangkap polisi.
Sama halnya dgn pesepakbola Indonesia. Mreka dituntut harus selalu menang & berprestasi tinggi baik di klub maupun timnas. Namun, ujung2nya prestasi tersebut justru malah diklaim oleh para petinggi klub & federasi sebagai prestasi mreka, pdhl para petinggi tersebut tdk melakukan apa2, bahkan tdk memberikan hak para pemain atas prestasi mreka. Para petinggi klub & federasi yg mayoritas politisi tersebut merasa prestasi pmain bs mreka manfaatkan utk mendulang suara saat pemilu & pilkada, atau utk menjegal lwn politik mereka dlm perebutan kekuasaan di klub & federasi. Yg paling parah adlh 2 thn terakhir, dimana pmain dipaksa utk terlibat dlm dualisme klub, federasi, liga, bahkan dualisme timnas. Sementara, hak2 mreka akan gaji tdk prnah diberikan.
3. Sama-sama korban sistem yg berubah-ubah
Para siswa peserta UN, bahkan sbenarnya para pelajar & mahasiswa di Indonesia secara keseluruhan selalu menjadi kelinci percobaan sistem kurikulum yg selalu berubah-ubah, bahkan smp ada ungkapan: " Ganti menteri, pasti ganti kurikulum." Para siswa pun tdk bs berbuat apa2 kcuali terpaksa menyesuaikan dgn sistem-sistem tersebut, yg sbnarnya blm tntu cocok bagi mreka. Begitu pun dgn mahasiswa, dimana terdapat ketidakpastian mengenai status hukum universitas, mulai dr BLU, BHMN, hingga BHP. Apalagi dgn adanya komersialisasi pendidikan saat ini, yg berdampak pd mahalnya uang masuk universitas akibat tdk jelasnya status badan hukum universitas tersebut, yg membuat pihak universitas sering mencari celah utk mengeruk keuntungan dr mahasiswa.
Pesepakbola Indonesia pun juga mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi korban sistem pembinaan & pengelolaan sepakbola nasional yg berubah-ubah, tapi tetap sama rusaknya. Mulai dr pembinaan pemain muda yg sbenarnya merupakan akar dr pembangunan sepakbola suatu negara, tetapi di Indonesia mlh menjadi lahan utk berebut pengaruh politik & kekuasaan. Contohnya saja sperti proyek2 pelatnas jangka panjang ke luar negeri. Sejak jaman PSSI Primavera hingga SAD Uruguay, tidak ada satupun yg berhasil mewujudkan timnas yg kuat & berlevel dunia. Malah, bnyk alumnus Primavera hingga SAD tersebut yg gagal menjadi pesepakbola internasional & pulang ke Indonesia cm menjadi pmain di klub2 kecil. Hal ini dikarenakan program2 tersebut tidak memiliki masa depan yg jelas terhadap pmain2nya, bahkan cenderung program2 tersebut lngsung distop begitu gnti rezim kepengurusan & pmain2nya ditelantarkan begitu saja. Selanjutnya adalah pengelolaan liga profesional, dimana format liga selalu berubah-ubah, yg puncaknya adalah thn lalu, dimana terjadi dualisme liga. Pmain pun dipaksa utk memilih 1 dr 2 liga tersebut, dgn ancaman kontraknya diputus oleh klub jika tdk menuruti keinginan klub.
Sbenarnya mngkin msh banyak lg kesamaan pelajar dgn pesepakbola di Indonesia. Tetapi, yg utama adalah keduanya adalah tonggak pembangunan bangsa di bidangnya masing2, namun dipaksa menjadi korban keserakahan para pejabat korup di negri ini. Fenomena ini juga didukung dengan ketidakberanian para pelajar & pesepakbola Indonesia dlm bersikap melawan kebijakan-kebijakan yg merugikan mreka tersebut, yg mana ketidakberanian ini bnyk disebabkan oleh rendahnya mutu & tidak adanya sarana bagi mreka untuk mengekspresikan sikap mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H