Halo sobat Kompasiana! Kita, sebagai makhluk sosial, pasti memiliki tetangga. Kadang kala, kita memang membutuhkan tenaga dan bantuan tetangga untuk beberapa hal. Akan tetapi, tidak jarang juga tetanggalah yang menyulut emosi dan menyebabkan kita suntuk dengan omongan-omongannya.
Tetangga dengan berbagai sikapnya, mau tidak mau, bersedia tidak bersedia pasti akan hidup berdampingan dengan kita. Jika mendapatkan tetangga yang super baik, tentu menjadi keuntungan bagi kita. Namun, jika ternyata tetangga sebelah rumah adalah orang-orang yang super menyebalkan, entah dengan sikapnya, omongannya, atau bahkan segala aspek dalam hidupnya memang menyebalkan. Pasti menjadi sebuah permasalahan tersenidiri.
Akan tetapi, jika kita hanya mengutuk keadaan secara terus-menerus, keadaan tidak akan pernah berubah. Si tetangga menyebalkan akan tetap menyebalkan sepanjang hidupnya dan kita hanya terus akan mengutuk keadaan secara terus-menerus. Jika hal demikian terus-menerus terjadi, bisa dikatakan bahwa kehidupan bersosial kita tidaklah sehat.
Secara harfiah, omongan dan sikap tetangga adalah sebuah hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita tidak memiliki kendali untuk mengatur apa yang akan dilakukan tetangga kita, begitu juga kita tidak memiliki kendali untuk mengatur apa yang akan diucapkan tetangga kita.
Akan tetapi, sebaliknya, kita memiliki kendali penuh terhadap diri kita. Apakah kita akan marah dengan omongan tetangga, apakah kita akan sebal dengan perlakuan tetangga, ataukah kita cuek saja dengan sikap dan perlakuan tetangga kita. Kita bisa mengatur diri kita sendiri untuk merasa terusik dengan sikap dan omongan tetangga atau tidak. Kita sendirilah yang bisa untuk mengendalikannya.
Jika kita memang harus hidup dengan tetangga yang super menyebalkan, segala hal tentang perilaku dan omongannya menyakitkan hati, kita bisa mengatur diri kita untuk tersulut emosi atau cuek-cuek saja. Sebab, jika kita terus-menerus cuek dan seakan-akan tidak memedulikan apa yan dilakukan dan diucapkan tetangga menyebalkan itu, dianya sendiri yang akan kelelahan dan merasa tidak berguna. Akan tetapi, jika kita menanggapi atau bahkan tersulut emosi hingga terjadinya sebuah pertikaian, tetangga super menyebalkan akan merasa bahagia dan telah berhasil untuk membuat lawannya – yaitu Anda sendiri – terpancing.
Kita juga harus memahami, bahwa menjadi makhluk sosial dengan hidup bermasyarakat dan bertetangga adalah sebuah kewajiban. Hidup berdampingan dengan tetangga yang menyebalkan pun adalah sebuah realitas dalam hidup. Kita tidak bisa menghindari untuk hidup berdampingan dengan orang-orang yang menyenangkan saja.
Sebagai manusia yang dibekali akan dan pikiran, kita harus selalu siap sedia dengan segala kondisi terburuk menjadi makhluk sosial. Tetangga gibah tentang kita misalnya, atau kita diolok-olok di depan umum, kita harus menjadi orang yang bijak dalam menyikapi hal-hal seperti itu. Paham kondisi dan waktu kapan harus diam dan bersabar demi menghindari pertikaian, paham kondisi dan juga waktu kapan harus membalasnya, tentu dengan ucapan dan perilaku yang bijak pula. Jika kita membalas dengan sikap dan ucapan yang sama “liarnya” dengan tetangga kita, sama saja menjadikan kita tidak berbeda dengan tetangga kita yang menyebalkan.
Kita harus bisa, bijak, dan cerdas dalam menyikapi tetangga kita yang menyebalkan. Hidup menjadi makhluk sosial yang mengharuskan berdampingan dengan tetangga memang tidaklah mudah. Diri kitalah yang harus pandai menempatkan dalam kondisi-kondisi yang menyebalkan saat hidup bertetangga.
Omongan dan perilaku tetangga yang menyebalkan hanya akan menjadi sebuah angin lalu jika kita tidak pernah menanggapinya. Omongan dan perilakunya tidak akan menjadi sebuah masalah serius jika kita tidak memberi peluang untuk menjadikannya sebuah masalah. Poin kuncinya ada pada diri kita. Apakah kita merasa terusik atau tidak.
Namun, dalam beberapa kondisi, tetangga yang menyebalkan harus diberikan sedikit “pelajaran.” Tentu dengan cara yang baik, entah dengan pelan-pelan dinasihati, atau dengan shock terapy pada situasi, kondisi, dan saat yang tepat.