Mohon tunggu...
Gatot Prakoso
Gatot Prakoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

mencoba terus menulis, menyibukkan jemari sebagai "printer" yang berkualitas, yang bisa mencetak hasil-hasil yang berguna...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran, (Bisa Jadi) Momentum Kemunafikan Berjamaah

28 Agustus 2012   04:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:14 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tradisi kita, lebaran diisi dengan berkunjung ke tetangga, ke sanak family, dan kemanapun untuk meminta maaf atas kesalahan terdahulu. Biasanya, di daerah Jawa, dalam bulan syawal akan ada acaran Syawalan atau Halal bil Halal yang isinya adalah ajang pertemuan antara semua orang (warga) untuk bersilaturahim dan saling bermaafan. Salahkan tradisi ini? Tentu tidak, walau ada sebagian yang kurang setuju.

Esensi dari berlebaran adalah merayakan kemenangan, yang kemudian diikuti dengan saling bermaafan. Sebuah esensi yang agung jika kita bisa melakukannya dengan sebaik-baiknya. Permasalahan terbesar adalah; benarkah hati kita benar-benar sudah memaafkan seiring dengan sunggingan senyum, ucapan maaf dan jabatan tangan?

Hal penting yang mungkin belum kita sadari adalah bahwa semakin tua umur kita, semakin sulit kita untuk memaafkan orang lain. Ketika kita melihat anak kecil, maka sudah seharusnya kita merasa malu. Anak-anak, adalah contoh paling baik saat ini untuk belajar bisa begitu mudah memaafkan-sekaligus melupakan permasalahan- orang lain. Betapa tidak, anak-anak bisa tiba-tiba ribut, bertengkar hebat bahkan sampai pukul-pukulan secara fisik, dan kemudian salah satu, atau keduanya menangis. Tak butuh waktu lama, bisa hitungan menit untuk kemudian keduanya bisa tertawa bareng lagi seolah tak pernah ada keributan sebelumnya.

Ketika beranjak besar, seumuran anak SD, mereka akan mulai “belajar” untuk tidak mudah memaafkan. Kita mulai butuh waktu untuk menghilangkan mulut manyun dan mulai “belajar” tidak menyapa ketika jengkel pada seseorang. Ketika beranjak lebih besar lagi hingga dewasa, makin banyak kriteria yang kita buat sendiri untuk bisa memaafkan seseorang. Dengan begitu banyak kriteria yang sudah kita buat, apakah Anda yakin bisa memaafkan seseorang yang “masuk dalam kriteria itu” secara tiba-tiba di hari Lebaran?

Ingatkah Anda, kapan terakhir kali Anda benar-benar bisa memaafkan orang dengan sebenar-benarnya maaf, hingga benar-benar “plong” dan tidak ada dendam sedikit pun di hati? Anda akan terkejut ketika menyadari bahwa hal itu sudah terjadi puluhan tahun lalu, saat Anda masih berusia balita. Betapa kata “maaf” yang sering kita obral kala Ramadhan dan Idul Fitri, serta ribuan kata maaf lain di hari biasa adalah kata maaf dengan jutaan “tanda kutip”.

Anda bisa memaafkan karena terpaksa, mungkin karena tidak pada teman yang lain, walau hati kecil belum bisa menerima. Anda mungkin harus menyatakan pemberian maaf pada orang lain karena untuk memastikan bahwa situasi akan tetap kondusif. Misalnya, seorang istri yang terpaksa memaafkan suami ada kunjungan mertua secara tiba-tiba, sementara sebenarnya persoalan yang ada belum terbahas dengan tuntas. Dan tahukah Anda, akan ada beribu, bahkan berjuta “keterpaksaan” yang lain.

Selalu ada rentetan kriteria yang akan kita ciptakan sendiri untuk memberi maaf pada seseorang. Bahkan, konyolnya, ketika kriteria-kriteria ajaib itu sudah terpenuhi, selalu saja “iblis” di hati kita begitu kreatif untuk menciptakan berbagai kriteria lain yang membuat kita menunda pemberian maaf, atau malah memberikan maaf secara terpaksa. Pertanyaannya; siapkah kita, atau bisakah kita menghapus kriteria-kriteria itu dan memaafkan orang? Seperti Allah yang senantiasa memaafkan kita?

Jika tidak, maka bukan tidak mungkin kita harus menampilkan “topeng Idul Fitri” yang ramah dan penuh maaf, sementara hati kita masih menyimpan segenggam dendam pada orang lain. Andai kita coba cek pada diri sendiri, bukan tidak mungkin kita termasuk satu dari ribuan, bahkan jutaan orang di negeri ini yang terperangkap pada kemunafikan berjamaah saat lebaran.

Lisan kita mengatakan “aku sudah memaafkan kalian dari dulu”, tapi bathin kita bergumam “tapi kau belum juga berubah”, “tapi hatiku masih sakit”, dan berjuta tapi lainnya. Tangan kanan kita berjabat erat seolah sangat akrab, sementara tangan kiri kita terkepal, menahan kegeraman dalam jiwa. Tubuh kita berpelukan bak dua saudara yang lama terpisah, tapi benarkan hati-hati kita terpaut dalam kefitrian?

Maka saudaraku, berhati-hatilah dengan kata “maaf”mu. Bukan tidak mungkin, kita sedang menjebakkan diri dalam sebuah ritual “kemunafikan berjamaah.” Jika kita bertanya pada Pak Kyai, Pak Ustadz, atau Pak Haji, jawaban yang keluar pasti adalah jawaban yang sebenarnya kita sudah tau, “ikhlaskan hati”. Tapi, “ikhlas” tak sesimpel mengucapkannya, apalagi jika kita terbiasa berkamuflase.

Tangerang,

28 Agustus 2012

Al Gasstot

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun