Saya bukan orang yang sangat paham dengan hal-hal yang berbau ekonomi. Saya bahkan cukup anti dengan hal-hal yang berbau politik. Akan tetapi, menyimak kasus Century membuat saya sedikit banyak mencoba mengerti, mempelajari dan meng-analogikan dengan kejadian yang sedikit mudah saya pahami.
Sampai detik ini, saya masih pada pemikiran awal saya bahwa SMI tidak bersalah. Ketika penyelidikan "politik" yang dipaksakan oleh Pansus untuk sebuah kasus ekonomi telah selesai, serta pembuktian yang tidak mengarah pada kasus korupsi atau pengambilan keuntungan pribadi dari kasus bailout Bank Century, saya masih pada proses belajar lebih memahami kasus ini, hingga saya yakin tuntunan hati nurani saya yang mengatakan bahwa SMI tidak bersalah cukup mendapat pembuktian. Sejauh ini positif buat saya.
Ada beberapa fakta yang pada perkembangannya justru lebih menarik buat saya dari kasus "ekonomi" Bank Century itu sendiri. Buat saya, perkembangan kasus ekonomi dari Bank Century justru telah mencapai titik akhir (seharusnya) ketika dalam kesimpulan Pansuspun, mereka tidak berhasil membuktikan tuduhan awal berupa aliran dana ke Partai Demokrat dan aliran dana ke kantong pribadi SMI.
Sungguh sangat menarik menyimak kelanjutan dari kasus "politik" Bank Century sendiri. Mari coba kita simak:
Kasus ini telah sukses melahirkan puluhan celebritis politik dan ekonomi yang secara simultan tampil di media massa, baik elektronik maupun cetak dengan komentar yang "kritis". Kenapa kata KRITIS harus diapit tanda petik? Jaman orba, ketika kita masih dikungkung dalam aroma ketertindasan semu, semau orang memilih diam ketika harus berurusan dengan pemerintah, meskipun hati nurani menolak. Beberapa orang yang memilih untuk bersikap vokal akan mengalami banyak tekanan. Nah, kata KRITIS menjadi penting untuk dikurung dengan tanda petik karena sepertinya telah mengalami pergeseran nilai. Kritis untuk hari ini akan cenderung sama dan ekuivalen dengan "menentang pemerintah". Intinya, untuk menjadi "kritis", kita harus membuat pernyataan-pernyataan yang bernada kontra dan cenderung menyerang apapun kebijakan pemerintah.
Sejujurnya, sebagai orang awam yang bukan dari berasal dari kalangan politik, saya tidak tahu-dan tidak mau tahu-logika berpikir orang politik. Dalam khazanah berpikir saya, politik di Indonesia adalah gabungan antara orang pintar, sok pintar, sekaligus orang yang merasa pintar. Kondisi ini makin kompleks ketika harus digabung dengan euforia kebebasan berpendapat yang sejujurnya sudah salah kaprah dan "kebablasan".
Ketika kita melihat tingkap polah politisi kita, yang seharusnya menjadi wakil rakyat, maka kita akan melihat betapa sesungguhnya sangat sedikit dari kita-warga Indonesia-yang terwakili oleh mereka. Apa yang mereka lakukan pada saat kampanye dengan berbagai tingkah polah yang sangat simpatik dan merakyat -tiba-tiba nongol didaerah terpencil, tiba-tiba sangat dekat dengan rakyat -adalah bagian dari sandiwara politik yang sesungguhnya hampir pasti kita rasakan setiap menjelang pemilu. Lepas dari pemilu, maka kepentingan siapa yang mereka bawa? Entahlah.
Kembali ke kasus Bailout Bank Century. Kasus Bailout Bank Century sudah bergulir bagai bola salju yang menggelinding makin besar dan akan menelan segala sesuaty yang ada didepannya. Kasus Bailout Bank Century sudah "menyambar" salah satu inisiator Pansus Century yaitu Muhammad Misbakhun dari PKS dengan kasus L/C bodongnya. Issue terbaru, Bambang Susatyo-juga salah satu inisiator Pansus Century- tersandung issue pajak, yang sebenarnya mengingatkan kita akan salah satu petinggi partai yang sama dengan Bambang Susatyo, Partai Golkar.
Yang menarik adalah statement dari beberapa mantan anggota Pansus. Yang terbaru adalah statement dari Fahry Hamzahdari F-PKS (sebuah partai yang mengklaim sebagai partai bersih di masa lalu) dan Akbar Faisal dari F-HANURA. Mereka berdua cukup rajin tampil di media serta mengungkapkan betapa kasus penetapan Misbakhun sebagai tersangka adalah kasus yang unik (kalau tidak bisa dibilang aneh). Menurut mereka, terlalu cepat Polri menyatakan Misbakhun menjadi tersangka dan menurut mereka, kasus ini sangat politis.
Menarik untuk diingat betapa mereka menganggap kasus Misbakhun yang telah sangat jelas cukup ada bukti tentang keterlibatannya dalam kasus L/C fiktif sebagai kasus politis. Nah, pertanyaannya; politis seperti apa? Ketika semua bukti sudah menunjukkan keterlibatan Misbakhun, masihkah perlu kita berkata bajwa kasus itu bermuatan politis? Cukup lucu juga ketika mereka dan beberapa mantan anggota pansus yang lain mengatakan bahwa Misbakhun belum tentu bersalah dan kita HARUS MENJUNJUNG TINGGI ASAS PRADUGA TAK BERSALAH.
Tampak sekali dualisme dalam pola pemikiran mereka. Ketika mereka menerapkan asas PRADUGA TAK BERSALAH pada Misbakhun, mengapa mereka menerapkan asas sebaliknya pada Sri Mulyani Indrawati? Mengapa juga kasus yang seharusnya adalah kasus ekonomi mereka giring ke ranah politik? Perilaku sebagian dari mereka yang memilih memboikot SMI dalam sidang anggaran membuktikan bahwa mereka sudah memvonis SMI bersalah, sementara tidak ada bukti apapun yang membuktikan SMI bersalah. Sementara, untuk Misbakhun yang sudah ditetapkans sebagai tersangka, mereka seperti dengan semangat tinggi mengeluarkan statement pembelaan.