"Tulisan ini sebenarnya adalah tulisan lama. Dituliskan sebelum Pemilu Legislatif 2014. Penulis merasa, tulisan ini masih cukup relevan untuk "persiapan" menghadapi PilPres 2014. Semoga bermanfaat!"
Pemilu 2014 sudah didepan mata. Diantara sekitar 187 juta pemilih (menurut Antara.net.id), tentu ada pemilih baru yang baru pertama kali memiliki hal untuk memilih. Sebagai pemilih baru, tentu ada euforia tertentu yang mereka punyai. Segala idealisme tentu tercurah untuk memilih seseorang dari sebuah partai yang mereka anggap memenuhi harapan mereka untuk kemajuan bangsa. Nah, bukan tidak mungkin, pemilih baru ini akan mudah terseret pada gelombang massa yang sedang tertarik pada salah satu calon yang memang sedang “ngetrend”.
Persoalannya, apakah orang itu, atau partai itu akan memenuhi harapan mereka – para pemilih baru ini? Jika tidak, maka akan ada orang-orang apatis baru sejumlah sekitar 38 juta orang di negeri ini. Masih menurut Antara.net.id, jumlah pemilih pemula di Pemilu 2014 adalah sekitar 20 – 30 persen dari jumlah pemilih total. Sangat mengerikan membayangkan sekian banyak idealisme anak muda harus rontok dan bergabung dengan barusan apatis yang sudah memenuhi negara ini.
Pertimbangan untuk Pemilih
Pertimbangan apa yang harus kita ambil untuk menentukan agar kita tidak salah pilih? Hal pertama yang harus kita pastikan adalah bahwa kriteria “benar atau salah” adalah kriteria yang sangat relatif. Setiap orang memiliki parameter sendiri yang hampir pasti berbeda dengan orang lain. Artinya, sebenarnya, batasan untuk menentukan bahwa pilihan itu benar atau salah ada pada diri sendiri, bukan dari orang lain.
Akan tetapi, menurut penulis, ada beberapa hal yang bisa kita ambil sebagai indikator bahwa calon itu layak untuk dipilih. Kita tidak akan berbicara tentang track record seorang calon legislatif atau calon presiden, karena nyaris tidak ada calon dengan track record yang layak untuk dipilik. Jikapun ada rekam jejak, justru kita akan dihadapkan pada rekam jejak yang kurang menarik untuk dipilih, atau bahkan rekam jejak yang buruk. Satu hal yang pasti, jangan pula serta merta menjatuhkan pilihan pada figur yang sedang populer. Ingat pelajaran dua Pemilu terakhir, dimana kita memilih figur yang sedang “naik daun saat itu”, dan hasilnya, kita sudah lihat sendiri.
Lalu, kriteria apa yang cocok untuk memilih caleg (dan capres) yang seharusnya kita punyai? Untuk memilih Capres mungkin lebih mudah, karena lebih sedikit figur yang harus dipilih, walaupun mungkin tidak satupun memenuhi kriteria yang kita buat. Hal yang agak kompleks adalah ketika kita harus menjatuhkan pilihan pada para calon legislatif yang figurnya saja tidak kita kenal, atau belum pernah kita dengar kiprahnya di masyarakat.
Karena tidak mungkin menilai dari sekedar tampang, mari kita buat kriteria sendiri. Penulis memilih membuat kriteria pertama adalah dari baliho kampanye mereka. Semakin caleg itu jarang terlihat, semakin itu menarik untuk dipilih. Logikanya sederhana aja. Caleg tersebut tidak memiliki cukup dana untuk membuat banyak baliho. Bayangkan, di jasa print digital, untuk membuat sebuah poster berukuran 1x1 meter persegi, seseorang harus membayar antara Rp 15.000 sampai Rp 35.000, tergantung jenis bahannya. Andai caleg tersebut nongol di seratus poster berukuran 50 x 50 cm persegi, maka dia harus mengeluarkan dana untuk membuat poster sebanyak 25 x 15.000,- atau sebesar Rp 375.000,-. Itu hanya untuk posternya.
Sementara itu, dia juga harus membayar untuk tenaga kerja yang memasangnya, tim suksesnya, serta (seharusnya) dia membayar untuk ijin memasang poster. Nah, pada prakteknya, banyak sekali kita jumpai poster caleg yang dipasang sembarangan, mulai dari tiang listrik, tiang telepon, hingga dipaku di pohon, tanpa ada informasi yang menunjukkan bahwa poster yang bersangkutan sudah membayar pajak di pemerintah sebagai ganti dari ijin pemasangan poster selama kampanye.
Ada dua pertimbangan yang harus dipikirkan untuk tidak memilih mereka yang memiliki banyak baliho dalam berkampanye. Pertama, caleg yang memiliki banyak baliho sudah tentu sudah mengeluarkan dana yang banyak (bahkan terbilang sangat banyak untuk ukuran rakyat Indonesia yang gajinya masih di kisaran 3-6 juta perbulan – rata-rata) hanya untuk “memperkenalkan wajahnya pada calon pemilih”. Dengan meminjam logika dagang, maka semakin banyak modal yang dikeluarkan, semakin tinggi pula usaha untuk bisa mendapatkan kembali uangnya, tentu dengan keuntungan yang diusahakan berlipat. Dengan gaji yang sudah diketahui khalayak ramai, yang jumlahnya bisa dihitung (x rupiah x 12 bulan x 5 tahun), maka timbul pertanyaan, darimana orang tersebut akan bisa mengembalikan dana kampanye yang besarnya minta ampun itu?
Pertimbangan kedua, caleg tersebut sudah melanggar banyak aturan, setidaknya aturan tentang adanya ijin khusus pemasangan baliho. OK, sang caleg, dan tim suksesnya pasti akan berkilah bahwa poster-poster yang dipasang di sembarang tempat, mulai dari tiang listrik, tiang telepon hingga pohon, itu dipasang tanpa sepengetahuan mereka, dan itu dipasang oleh “oknum” pendukung. Akan tetapi, logika penulis adalah, tim sukses pasti tahu dan sudah berkoordinasi dengan tim lapangan tentang poster-poster tersebut, hingga seharusnya, pelanggaran itu bisa dihindari. Kemudian, logikanya adalah bahwa yang mereka sebut dengan oknum pendukung itu adalah orang yang mereka bayar untuk memasang poster, hingga apapun kondisinya, seharusnya mereka bisa memantau.
Apa yang akan kita harapkan dari seorang caleg yang sudah tidak sanggup mengontrol kinerja anakbuahnya? Apa juga yang kita harapkan dari seorang caleg (dan mungkin Capres) yang begitu muda melanggar aturan, mulai dari aturan tentang pemasangan poster itu?
Menjadi Cerdas
Maka, sudah saatnya kita para pemilih, baik pemilih pemula maupun pemilih lama, menjadi cerdas dan tidak gampang lagi menjadi korban “cuci otak” para calon “pejabat” yang dengan sibuknya mencuci otak kita dengan tampilan baliho yang mencolok, besar, dan menjadi “polusi visual”.
Sudah saatnya pula kita menghindari memilih mantan pejabat yang masih “niat” mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Logika tentang empuknya sebuah jabatan boleh jadi sudah membutakan seseorang tentang etis dan tidak etisnya seseorang untuk menjadi pejabat publik. Sudah jamak di Indonesia jika posisi “Wakil Rakyat” itu tak lebih bagai profesi yang bisa diturunkan ke segenap keluarga, begitu juga dengan posisi kepala daerah – atau mungkin, suatu hari, posisi Presiden.
Sering kita lihat fenomena betapa seorang Kepala Daerah yang sudah tidak bisa mencalonkan diri (karena aturan maksimal masa jabatan), tiba-tiba digantikan oleh sang istri, atau saudara, karena secara aturan ini tidak bermasalah. Artinya, secara etika, orang tersebut sudah tidak peduli dengan anggapan orang betapa dia, dan keluarganya adalah orang yang “maruk jabatan”. Dengan kualifikasi sebagai orang (dan keluarga) yang maruk “jabatan” (sekaligus kekuasaan), maka tentu bisa kita bayangkan apa tujuan “mulia” mereka.
So, para pemilih, terutama pemilih pemula, hindari dua jenis kriteria itu, calon yang terlalu banyak pasang iklan, karena dia akan menuntut pengembalian dari iklannya, dan calon yang tak lain dan tak bukan adalah keluarga dari petahana. Mungkin, dengan adanya dua kriteria ini, kita bisa mengeliminasi orang-orang yang hanya berpotensi menjadi duri dalam daging dinegara ini.
Jakarta, 24 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H