Hampir 3 tahun yang lalu, saya menjadi seorang ibu untuk pertama kalinya. Tapi di saat yang sama, saya merasa gagal menjadi seorang ibu.Â
Saya melahirkan anak pertama saya dengan segala upaya saya. Mungkin saya termasuk ibu yang idealis, tak berencana melakukan operasi caesar saat ingin melahirkan.Â
Saya berharap bisa melahirkan anak saya sebagaimana perjuangan ibu saya melahirkan saya dengan cara pervaginam.Â
Waktu itu, di mata saya operasi caesar tidak seberjuang pervaginam. Tapi nyatanya, operasi dan pervaginam sama-sama mempertatuhkan nyawa dan menimbulkan rasa sakit. Malah sakit yang ditimbulkan setelah operasi jauh lebih lama karena menyentuh ranah mental saya.Â
Dalam perjalanan saya menjadi seorang ibu, bagi saya operasi caesar merupakan awal kegagalan saya menjadi ibu seutuhnya.Â
Saya merasa gagal, apatah lagi sebagian orang mungkin menganggap operasi yang saya lakukan hanya untuk menyamankan proses saya melahirkan seorang anak. Padahal nyatanya itu untuk menyelamatkan anak saya. Dari situlah saya mengalami berbagai ketakutan yang tidak diketahui oleh orang banyak.Â
Mungkin sebagian orang mengerti, tapi tidak dengan mereka yang tidak tahu bahwa saya menjalani caesar cito.Â
Operasi yang dilakukan saat saya sudah sampai ke pembukaan lengkap untuk sebuah proses persalinan normal. Bahkan saat di meja operasi, saya pun mengalami kontraksi yang begitu menyakitkan seorang diri di antara para tenaga medis.
Kena mental, saya mengalami itu terlebih lagi anak saya harus dirawat dan diinkubator selama tiga hari.Â
Dia berjuang untuk hidup saat telahir kedunia. Untuk meminum ASI di hari pertama lahir ke dunia saja, dia bahkan tidak mampu.Â