Mohon tunggu...
Alfridho Yuliananda
Alfridho Yuliananda Mohon Tunggu... mahasiswa -

That I know is that I dont know everything. But, Sceptic is me. alfridhoyuliananda.blogspot.com @alfridho12 Alfridho Yuliananda (fb)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masih Kurangkah, Hai Wakilku?

19 November 2015   08:36 Diperbarui: 19 November 2015   10:20 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lucunya mereka para wakil rakyat yang kita amanati untuk menjadi ‘dalang’ perubahan Indonesia. Mereka bak kacang lupa kulit, gagah berani menjadi pagar terdepan untuk memiskinkan rakyat. Mereka lupa darimana asal mereka sebelum duduk santai menikmati kopi di kursi hangat penuh ria di gedung mewah hasil keringat rakyat. Mereka seolah menari di atas keringat rakyat yang masih menuntut janji saat orasi. Aduhai, kita lelah mencari nafkah dan membayar pajak, tapi kau, wakilku, enaknya kalian memuntahkan itu untuk menggelonggong dompetmu, wahai wakilku.

Disaat krisis ekonomi di Indonesia semakin hari kian anjlok, justru kita temui kenyataan wakil kita di gedung putih hijau itu memanjakan diri untuk menari di atas rontaan sejuta umat kelaparan. Lagi, lagi, dan lagi kita mendengar kabar memuakkan dari para wakil kita yang kita sayang, yang kita banggakan, dan kita junjung tinggi hingga duduk di kursi gedung putih Senayan. Hampir bosan kita mendengarnya, namun kini makin tinggi kualitas permainan mereka untuk mencoreng kinerja lembaga legislasi negara kita.

Kali ini—untuk ke sekian kali—ketua DPR RI dari fraksi Golkar tersebut membuat ulah yang mencoreng lembaga yang ia pimpin. Ia dilaporkan Menteri ESDM, Sudirman Said, terkait dengan pencatutan nama Presiden Jokowi serta Wapres Jusuf Kalla, dalam perpanjangan kontrak dengan PT Freeport Indonesia. Dalam Kasus tersebut, Setya dilaporkan meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan proses renegoisasi perpanjangan kontrak tersebut. Tidak hanya itu, Ia juga meminta PT Freeport Indonesia untuk melakukan divestasi saham sebesar 49 persen untuk pembangunan proyek listrik di Timika, Papua.

Bukan tanpa alasan Sudirman melaporkan Setya ke MKD untuk diadili, sebab itu sudah masuk pada pertemuan ketiga dengan pembahasan yang sama, yang membuat petinggi PTFI merekam dan memberikan rekamannya kepada Sudirman untuk dipertanyakan kebenarannya. “Petinggi PTFI menghubungi saya untuk mengklarifikasi kebenaran tentang permintaan saham dari Presiden oleh oknum DPR,” ujar Sudirman ketika diwawancara, dilansir dari Republika, Selasa (17/11).

Kasus yang mencoreng citra Badan Legislatif negara tersebut, bukan yang pertama dilakukan Setya. Sebelumnya dalam kunjungannya bersama anggota DPR lain ke Amerika, ia menggemparkan Indonesia dengan melakukan pertemuan dengan Kandidat Calon Presiden Amerika, Donald Trump, saat sedang sibuk-sibuknya melakukan deklarasi Kandidat. Hal tersebut, mengasumsikan bahwa adanya kepentingan politik yang mendukung Donald Trump dalam Pemilihan Presiden di Amerika. Hal itu membuat citra negatif bagi Legislatif karena menyalahgunakan wewenang.

Direktur Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahean, menilai kasus yang melibatkan dirinya terkait pencatutan nama Presiden tersebut sudah termasuk kasus penghianatan negara. "Mengapa ini masuk kategori pengkhianatan? jawabannya adalah karena saham yang diminta SN itu adalah seharusnya milik negara dalam bentuk divestasi saham. Artinya, SN sedang berupaya merampok atau mengambil hak negara secara ilegal," ujar Ferdinand di Jakarta, dilansir dari Beritasatu.com, Rabu (18/11). Saham itu, kata dia, mestinya diberikan kepada negara. Negara artinya rakyat. Yang seharusnya menjadi milik negara dan rakyat berusaha dirampas oleh SN, berupaya menipu dan menelikung hak negara dan rakyat.

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, menduga Setya sedang merancang korupsi dengan skala besar. "Sebagai seorang Ketua DPR, seharusnya Novanto patut menduga bahwa tindakannya itu bukan saja merupakan pelanggaran terhadap etika anggota DPR, akan tetapi juga merupakan tindak pidana korupsi karena telah merancang sebuah KKN skala besar, pada level pimpinan lembaga tinggi negara dengan iming-iming jatah saham untuk Presiden dan Wakil Presiden," ujar Petrus di Jakarta, Selasa (17/11).

Petrus menjelaskan tiga dosa Novanto terkait pertemuan dengan PTFI dari segi etika dan tata kelola pemerintahan yang baik. Pertama, melakukan pertemuan dengan pihak PTFI untuk mendesain upaya suap kepada Jokowi-JK. Kedua, melakukan pertemuan bisnis KKN di luar agenda resmi kenegaraan dan ketiga, mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla untuk menipu PTFI.

Setya Novanto memang dikenal sebagai pribadi yang kontroversial dan sering terlibat dugaan kasus korupsi. Namanya dikenal publik ketika tersandung kasus Bank Bali. PT Era Giat Prima, perkongsiannya dengan Djoko S. Tjandra—pemilik Mulia Group—menjadi juru tagihcessie Bank Bali di empat bank yang dilikuidasi pemerintah. Dari piutang Rp 904 miliar, Setya mendapat fee Rp 546 miliar, yang diduga mengalir ke kas Partai Golkar. Dari kasus itulah dia menjadi politikus andalan di Golkar. Jabatannya selalu bendahara. Namanya disebut dalam banyak kasus korupsi yang berhubungan dengan keputusan anggaran di parlemen. Dari suap anggaran Pekan Olahraga Nasional di Riau, pengaturan tender kartu tanda penduduk elektronik, hingga dugaan penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Inilah wajah wakilku yang sedang duduk bersantai dengan sebuah kopi di atas meja kerjanya. Hati hancur ketika melihat wakilku yang kubanggakan justru belajar melawan orang-orang yang membanggakannya. Bak kacang lupa kulit, dia bukan lagi lupa, tapi amnesia dan koma karena harta. Tak butuh lagi janji dari mulutnya, kali ini yang kita butuhkan adalah buang saja para penghianat negara ke asalnya (tanah), tapi jangan tanah negara yang dihianatinya! Wakilku sayang, wakilku dalang dari sebuah kemiskinan yang tak henti membuat perut jutaan rakyat menjerit meminta butiran-butiran kehidupan. Masih kurangkah hai wakilku dengan uang yang setiap tahun kami berikan ikhlas kepadamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun