Marhaban Yaa Ramadhan...
Seperti biasa, awal ramadhan diawali dengan berjamurnya iklan sirup, biskuit, dan iklan-iklan khas lain di bulan puasa. Pemasangan spanduk bertuliskan “Marhaban Yaa Ramadhan” atau “Mohon maaf lahir dan bathin” hadir di hampir setiap mall-mall kota dan pelataran jalan. Suasana tersebut sudah biasa hadir menjelang dan pada bulan puasa. Bak tradisi, semua mendadak Islami.
Ramadhan, bulan di mana pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka lebar, bulan penuh ampunan, bulan yang menjadi ladang amal setiap insan, bulan berkah penuh rahmat, dan juga bulan perubahan. Ramadhan, bulannya umat Islam di dunia layaknya perayaan pesta amal yang diselenggarakan selama 24 jam dalam satu bulan. Ya, begitulah kita mengenalnya tentang ramadhan.
Di bulan ramadhan ini pula, keanehan-keanehan positif hadir. Mengapa saya menyebutnya aneh? Karena, di bulan ini hampir seluruh umat mendadak Islami. Artis yang di luar bulan ramadhan berpakaian seronok, pada bulan ini berubah memakai hijab. Orang yang gemar berkata kasar, di bulan ini berubah lebih halus dan tak tampak seperti dirinya. Orang yang tidak pernah solat dan ibadah, di bulan ini cinta masjid. Orang yang gemar makan, di bulan ini berlatih diet. Dan juga orang yang gemar marah, di bulan ini berlatih sabar.
Betapa indahnya dunia jika saja ramadhan digelar setiap bulannya. Mungkin dunia akan damai dan tentram. Namun sayangnya, ramadhan hanya digelar satu bulan tiap tahunnya. Dan perubahannya pun hanya dilakukan saat bulan ramadhan. Seperti selebritis yang di bulan ramadhan berhijab, setelah ramadhan kembali mengenakan pakaian ‘kurang bahan’. Entah apa maksudnya mereka berlaku demikian.
Fenomena bulan ramadhan juga terlihat ketika di akhir bulan ramadhan. Tradisi menghabiskan uang pasti terjadi tiap tahun. Seperti membeli baju baru, celana baru, dan mudik. Tradisi yang entah mengapa bisa terjadi. Filosofi ramadhan dan idul fitri dimaknai dengan sifat konsumtif yang justru membuat kita kesulitan finansial setelahnya. Seharusnya uang tersebut bisa kita gunakan untuk bersedekah, namun kita lebih mementingkan membeli baju baru untuk menambah koleksi baju di lemari pakaian.
Seperti saya sebut sebelumnya, tradisi mendadak Islami dimaknai kurang tepat. Di bulan ramadhan kita menyambutnya dengan meminta maaf kesana kemari, ziarah, dan persiapan mudik. Hal-hal yang sebetulnya patut kita lakukan setiap hari atau tidak hanya di bulan ini. Filosofi idul fitri dengan lembaran baru tidak melulu soal barang baru, tapi sikap dan hati yang baru, yang sudah dilatih saat ramadhan serta tidak melulu soal mudik untuk dapat berkumpul dengan keluarga, padahal berkumpul dengan keluarga terutama orang tua bisa kita lakukan di waktu luang selain bulan ini. Namun, hal-hal tersebut sudah menjadi tradisi di Indonesia.
Setidaknya di bulan ini, kita bisa belajar menjadi sosok muslim yang sepantasnya. Semoga saja bulan ini menjadi awal perubahan di bulan-bulan yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H