“Therefore...ia a new nobility needed:
to oppose all mob-rule and all despotism”
-Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra: Book for Everyone and No One
Gouverner c’est prevoir. Memerintah itu melihat ke depan. Demikianlah ungkapan Prancis yang hendak disematkan di dada setiap organ pemerintahan. Artinya, pemerintah harus memiliki mata elang untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Visi kehidupan berbangsa dan bernegara telah dimeteraikan sejak negara republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Demokrasi pun dipilih sebagai jalan untuk mengekstraksi visi dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi diyakini punya magis untuk memberi petunjuk kepada kehidupan yang lebih baik sebab demokrasi punya struktur dan janji. Filsuf Prancis, Jaques Derrida menyebutnya democratie a venir.
Musuh demokrasi adalah penguasa yang otoriter, totalitarian. Sejarah totalitarian seakan hampir berjalan beriringan dengan sejarah bangsa Indonesia. Di masa orde lama, Presiden Soekarno pernah berniat menjadi presiden seumur hidup. Di masa orde baru, presiden Soeharto berhasil “menguasai” negara republik Indonesia selama 32 tahun. Tafsir UUD 45 yang sangat manipulatif, kebijakan ekonomi yang korutif dan monopolistis membuat kekuasaanya tidak tergoyahkan. Dengan dukungan kuat militer dan golongan yang berkarya seperti partai, semakin lengkaplah kekuasaan totalitarian Soeharto. Sementara di masa reformasi, lonceng kekuasaan totaliter mulai digetarkan kembali. Kelompok-kelompok tertentu yang mulai merasa nyaman dengan kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin melanggengkan kekuasaanya. Kelompok ini mencuat setelah pernyataan anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrat (PD), Ruhut Sitompul yang mempersiapkan SBY untuk ikut dalam pemilu 2014.
Menilik masa pemerintahan orde baru, bangsa ini sudah banyak belajar bahwa pemerintahan yang berwatak totalitarian telah berhasil membunuh hati nurani dan semangat kebangsaan. Pemerintahan totaliter selalu tumbuh bersama tingkat kekerasan negara yang represif dan koersif terhadap warga negara. Di sini terjadi penguatan state power (kekuasaan negara) terhadap societal power (kekuasaan masyarakat). Penguatan state power menuju totalitarian dideteksi dalam beberapa karakteristiknya. Penulis buku “Totalitarian dictatorship and Autocracy”, Friedrich dan Brzezinski mengemukanan terdapat 6 karakteristik totalitarianism yakni “levers of control, ideology, propaganda, and the leadership cult, as well as police and labor camps and imposed” (Michael Geyer dan Sheila Fritzpatrick, 2009:6). Dalam Origins of Totalitarianism (1951), filsuf Hannah Arendt memperlihatkan karakteristik totalitarian yakni kekuasaan melekat pada pemimpin tertinggi, sistem satu partai yang disertai dengan kontrol dan teror terhadap masyarakt, menetapkan paham “musuh bersama” dan penggunaan cara-cara yang menghacurkan relasi sosial dan keluarga. Dan hampir senada dengan kedua kanalitas karakteristik totalitalian di atas, refleksi Frans Magis-Suseno dalam pengantar Asal-Usul Totalitarianisme: jilid III Totalitarianisme mengungkapkan bahwa watak totalitarian berupa: 1) legitimasi gampang atas pelenggaran hak asasi manusia atas nama tujuan-tujuan ideologi; 2) monopolisasi informasi dengan alasan pemerintah lebih tahu apa yang harus dielakan masyarakat. Pemerintah tahu apa yang boleh dan tidak boleh ditonton, dibaca; 3) pembatasaan pengorganisasian masyarakat pada organisasi-organisasi yang disiapkan pemerintah; 4) penggunaan cara-cara di luar hukum untuk mengancam, tidak hanya yang dianggap penjahat, tapi juga seluruh masyarakat agar takut dan tidak berani mempertanyakan kebijakan pemerintah (Hannah Arendt, 1995:xx).
Semua bentuk karakteristik di atas merupakan kekerasaan kesewenang-wenangan (despotis) negara terhadap masyarakat. Kekerasan di sini diartikan sebagai penggunaan kekuatan sehingga menimbulkan korban terhadap terhadap pihak lain. Negara dapat melakukan kekerasan itu melalui aparatur (repressive state aparatus) yang dilengkapai dengan perangkat ideologinya (ideological state aparatus) maupun sistem yang diproduksi oleh struktur kekuasaannya. Kekerasaan pun dipakai sebab penguasa tidak bebas melanggengkan kekuasaanya sekaligus, seperti yang dikatakan Haryatmoko, telah terjadi defisit kepercayaan kepada penguasa.
Dengan pendekatan teori strukturasi Anthony Gidens diasumsikan adanya interdependensi antara tindakan dan struktur. Manusia memproduksi struktur dan manusia itu sendiri juga ciptaan struktur sosial dimana ia juga turut membentuknya (Zainuddin Maliki, 2004:66). Kekerasan pun dapat dicermati sebagai bagian dari proses strukturasi tersebut. Teror dan kontrol pun merebak di masyarakat. Teror dan kontrol ini mengakibatkan masyarakat, mengutip Islah Gusmilah, bukan saja terasing secara geografik tetapi juga secara eksistensial psikologis. Kondosi teror ini menciptakan masa yang terdepolitisasi atau Arendt menyebut masyarakat seperti ini sebagai “the society of nobodies” (Rahmat Rikardus, 2002: 74). Pembunuhan masal mereka yang diduga PKI dan stigmatisasi korban, peristiwa Tanjung Priok, rekayasa proyek GAM (Gerakan Aceh Merdeka), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) dan DOM (Daerah Operasi Militer), peristiwa Santa Cruz Dili, konflik-konflik horisontal (Poso, Ambon), kerusuhan Semanggi I dan II, penembakan di mahasiswa Trisakti dll menimbulkan darah berceceran di bumi pertiwi. Kontrol dan pem-breidel-an terhadap media masa dan normalisasi kampus memendul spirit demokrasi. Setelah reformasi teror dan kontrol terhadap masyarakt pun belum punah. Undang-Undang timpang (dominasi Gramscian) dihasilkan untuk mengontrol media masa dan civic journalism yang kritis terhadap kebijakan. Zamur terorisme dan merebaknya perampokan bersenjata pun perlu diperlu dipertanyakan dan dikaji secara kritis. Boleh jadi semua ini bagian dari rekayasa untuk mengembalikan wajah garang militer ke pentas politik tanah air. Perlu diingat, dalam sejarah pemerintahan totalitarian tanah air dan dunia, militer merupakan amunisi penting yang mendukung pemimpinnya. sejarah telah mengajarkan kita tentang ini dan l’histoire se repete.
Penguasa pun menancapkan kekuasaanya dengan hegemoni. Menurut Antonio Gramsci, hegemoni adalah cara menundukan orang lain tidak dengan kekerasan, tetapi menggunakan cara-cara kultural seperti ideologi, agama dan nilai-nilai budaya tertentu sebagai alat kekuasaan. Adam david Morton (2007:114) dalam “Unrevealing Gramsci” menulis bahwa “hegemony filters through sructures of society, economy, culture, gender, etnicity, class and ideology” ke dalam realitias . dimana Robert Cox mendefenisikan “reality is not only the physical environment of human action but also the institutional, moral and ideological context that shapes thoughts and actions. Soekarno di masa orde lama menggencarkan semangat Nasionalisme-Agama-Komunis (Nasakom) sebagai sikap kontranya terhadap kapitalisme Eropa. Semangatnya ini pernah mengangkat bangsa Indonesia di mata dunia. Namun, ia sendiri pun jatuh dari tampuk pimpinannya setelah kudeta Soeharto dengan bantuan CIA (Amerika). Soharto pun menggunakan ideologi Pancasila sebagai instrumen kekuasaan. Penafsirannya pun menjadi Eka Prastya Pancakarsa dan penataran P4 sebagai jalur sosialisasinya. Semua yang kontra terhadap penafsiran ini akan segera ditindak bukan saja secara hukum tetapi juga politik dan hukum. Asas tunggal ini berujung pada “ofensif ideologis”, sebuah idiom Taufik Abdullah. Ideologi tertutup ini mengakibatkan penyerahan kebebasan manusia pada rumus-rumus tirani. Dan di masa reformasi, ideologisasi Pancasila tidak bersifat kaku dan tertutup seperti masa Soeharto. Pancasila pun mampu “berterbang” bebas untuk mengayomi bumi pertiwi ini. Namun bersamaan dengan itu, kapitalisme mulai menankan cakarnya. Bangsa ini pun mulai dengan masalah baru. Ketimpangan dan kesenjangan ekonomi dan sosial melanda anak-anak negeri. Bumi, air dan kekayaannya tidak lagi dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Sumber daya di alam Indonesia dieksploitasi hingga meninggalkan “sampah” dan “lubang” menganga yang berdampak buruk bagi bangsa ini. Negara pun terjebak dalam korporatisme (state corporatism). Prosesnya pun dijalankan dengan kebijakan, dalam istilah Guilermo A. O’Donnell, statisasi (estatizante) dan privatisasi (privatizta). Negara memusatkan statitasi pada organisasi kelas bawah dan privatisasi institusi-institusi hanya kepentingan kelas atas yang dominan.
Struktur birokrasi yang ororitarian turut membangun hegemoni totalitarian penguasa orde baru. Struktur ini membuat warga negara seperti bola pimpong yang mudah dilempar ke sana ke mari.Proyek pembangunan dengan propaganda stabilitas nasional diimplementasian lewat jalur birokrasi otoritarian ini. Masyarakat pun semakin direpresi dan birokrasi menjadi ladang korupsi. Supremasi sipil sangat ditentang oleh pemerintah orde baru sebab akan menimbulkan gonjang-gonjang politik sehingga dapat mengganggu stabilitas nasional. Supremasi negara pun semakin kuat. Berbeda dengan setelah reformasi, supremasi sipil semakin kuat. Pengakuan terhadap hak-hak sipil semakin besar sebagai bentuk kembalinya kekuasaan di tangan rakyat. Rakyat adalah subjek kekuasaan. Demokrasi (dalam bahasa Yunani, demokratia=demos (people) + kratos (strenght)) pun semakin menguat di negeri ini. Untuk meminjam kekuasaan rakyat ini, penguasa berusaha sekuat tenaga dan pikiran dengan berbagai strategi. Tak jarang cara Machiavellian dipakai. Lalu Media massa juga dipakai sebagai medium publisitas pembentuk citra. Sejak orde lama hingga reformasi, penguasa sangat gemar publisitas. Maka atribut-atribut kedirian, seperti pemimpin berkharisma, macan panggung, bapak pembangunan, presiden pilihan rakyat dll direkayasa untuk disematkan di dada penguasa. Wejangan P. Corut pun dibenarkan. Power is based on money and information. Padahal menurut G.H. Wells, publicity is a legalized lie. Seperti kata filsuf Nietzsche, “ the lie or deception is the principle immoralistic practice and political tehnicque”. Inilah fenomena demokrasi di zaman modern. Sering kali negara secara kasat mata menganut sistem demokrasi tapi nyatanya demokrasi yang dianut adalah, dalam terminologi Florentin Scmarandache dalam bukunya “Global Totalitarianism and The Working Animals”, a pony democracy. A pony democracy adalah democracy of men with money atau politisi tanah air sering menyebutnya dengan demokrasi sembako. Menurut konsep Hannah Arendt, modernitas berisi substansi rasionalitas. Manusia modern menggunakan instrumen pengetahuan dan tekhnologi dalam realitasnya. Akibatnya, manusia tidak lagi dapat berpikir kritis dan menilai kritis (thinking and Judging). Manusia pun sering teralienasi dan tidak berniat mewujudkan bonum comunae. Burckhardt, dalam Nietzsches’s Machiavelian Politics (Don Dombowsky, 2004: 105), menambahkan bahwa the character of modern democratic state is coersive power and control of individual, imperialism, capitalism, dominace of the press and militery, degradatian of political leadership...”. Kondisi serperti ini mampu melahirkan kesewenang-wenangan dan pemimpin yang totalitarian. Hal ini seperti tesis Hannah Arendt bahwa modernitas juga menjadi raison d’etre watak totalitrian sebab masyarakatnya terjebak dalam banality of evil. Masyarakat menjadi apatis dan kejahatan dianggap lumrah.
Pemilihan Umum (pemilu) 2014 sudah semakin dekat, meski di mata masyarakat awan waktu ke sana masih sangat lama. Setiap partai politik sudah mulai memasang kuda-kuda. Strategi dan taktik politik dipersiapkan menuju “RI satu”. Partai pemenangan pemilu atau lebih dikenal dengan partai pemerintah, Partai Demokrat (PD) adalah partai yang siap memasuki kondisi harap-harap cemas dan panik. Hal ini disebabkan karena pemimpin “kharismatik” mereka, presiden Republik Indonesia (RI) saat ini secara konstitusional tidak bisa lagi masuk dalam bursa pencalonan presiden RI pada pemilu 2014. Dalam kondisi panik, tim kerja PD mulai membuat “ulah”. Anggota DPR RI fraksi PD, Ruhut Sitompul, pernah memuat pernyataan yang isinya mempersiapkan Presiden SBY untuk tetap ikut dalam pemilu 2014. Harapannya benar bahwa ini hanyalah pernyataan pribadi. Pernyataan pejabat publik ini cukup riskan dan berbahaya sebab pernyataan ini dikeluarkan oleh pejabat tinggi yang sadar konstitusi. Itu berarti sebenarnya ia tidak sendirian. Ada kelompok yang mendukungnya. Dan jika ini benar, itu berarti negara ini siap kembali ke masa orde baru dengan pemimpin yang totalitarian. Sebab boleh jadi ada usaha-usaha “kurang pantas” dari partai mayoritas Senayan untuk mengamandemen UUD 45 terkait masa kepemimpinan presiden RI. Angin segar datang dari presiden SBY sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak akan mengikuti bursa pencalonan presiden di pemilu 2014 dan selanjutnya memberi teguran keras kepada Ruhut Situmpol atas pernyataan provokatifnya. Harapannya pernyataan presiden SBY tersebut adalah pernyataan seorang negarawan dan sang demokrat sejati dan bukan pernyataan politis. Sebab jika itu hanya pernyataan politis, maka sesuatu pasti akan berubah. Ingat, politics is art of possible. Mari kita song-song penuh optimis pemilu 2014 untuk Indonesia yang lebih baik. Demokrasi Indonesia pun semakin lebih baik. MERDEKA!!!
Jogja, 27 Agustus 2010
Alfred Tuname
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H