Mohon tunggu...
Alfredsius Ngese Doja Huller
Alfredsius Ngese Doja Huller Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis adalah salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang dari Seminari San Giovanni xxiii Malang

Berbagi sembari belajar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradigma Pembangunan Papua: Elite Papua Jangan Hanya Jadi Penikmat Posisi

27 April 2022   12:49 Diperbarui: 27 April 2022   12:52 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Paradigma Pembangunan Papua" Elite Papua Jangan Hanya Jadi Penikmat Posisi

Setelah menelaah opini Noer Fauzi Rachman di koran kompas perihal Paradigma Pembangunan Papua. Saya mencoba merangkum gagasan pokok yang beliau sampaikan serta memberi tanggapan kritis. Beliau memulai opininya dengan menunjukkan kelemahan-kelemahan dari otonomi khusus babak pertama di Papua. Menurutnya Otonomi Khusus (Otsus) jilid pertama telah membuka kesempatan bagi elite Papua untuk meraih posisi, yakni jabatan pemimpin dan staf pemerintahan daerah. Namun kesempatan itu tidak mengubah sistem ekonomi yang dualistis di Papua.

Sistem ekstraktif terus berlanjut bahkan makin luas. Para kapitalis fokus memenuhi kantong-kantong mereka. Sumber daya manusia tidak diperhatikan bahkan nyaris masyarakat  merasa tidak dibutuhkan. Akibatnya masyarakat daerah tidak pernah berkembang dan hanya menjadi penyaksi pergerakan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam. Masyarakat hidup di lokasi baru sebagai kaum terpinggir.

Sungguh situasi yang sangat miris, dapat dianalogikan "semut mati di gudang gula". Ungkapan yang tepat untuk menyebut mereka yang menjadi korban sistem ekstraktif. Menanggapi hal ini menurut saya para elite Papua harusnya tidak hanya sebagai penikmat posisi. Mereka harus dilibatkan dalam Rancangan  Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2022-2041 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sehingga kebijakan yang dibuat selain berpihak pada Orang Asli Papua (OAP) sebagai penerima manfaat juga dapat mewakili aspirasi-aspirasi dari masyarakat akar rumput. Guna tetap menjadikan OAP sebagai subyek dalam pembangunan sekaligus mendidik mereka agar memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Yang pada akhirnya dapat bersaing dengan dunia global baik dalam pendidikan maupun industri.

Saya sependapat dengan Noer bahwa pembentukan kantong-kantong kapitalisme dikhawatirkan terjadi pergeseran kehidupan. Masyarakat yang awalnya hidup dari tanah dan sumber daya alam bergeser ke lokasi-lokasi baru ke kota-kota sebagai kaum marginal (terpinggir). Hal ini diperparah dengan adanya pandangan tentang kebudayaan tradisional sebagai penghambat pembangunan. Para Elite Papua harus benar-benar berjuang demi kesejahteraan rakyat terutama yang mendapat posisi di pemerintahan baik sebagai kepala daerah maupun anggota dewan. Jangan sekali-kali membuat kebijakan yang pro kapitalis untuk mengejar kepentingannya masing-masing.

Menurut saya ini masalah klasik yang ada di Papua bahkan hampir di seluruh tanah air kita. Para petinggi kerap kali kong kali kong dalam menetapkan peraturan. Ujung-ujungnya bukan berdasar aspirasi rakyat dan apa yang paling dibutuhkan oleh rakyat. Tetapi yang penting perutnya sendiri, masyarakat dan kepentingan umum nomor kesekian. Ambil contoh kasus Freeport, sejak awal Sukarno sedang pasang sikap keras terhadap kapitalis Barat, sebab menurutnya merekalah agen-agen penjajahan gaya baru. Namun apa, setelah kekuasaan jatuh ke tangan Suharto Freeport bersukacita karena penguasa baru yang Pro modal asing. Suharto mengeluarkan undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal[1].

Selain itu beliau juga memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun. Bayangkan dengan mudahnya para petinggi kita menjual kekayaan kita kepada para Kapitalis. Kontrak yang diadakan dengan Freeport memberikan keuntungan kepada perusahaan swasta itu, yakni memperoleh bebas pajak selama tiga tahun, konsesi pajak sebesar 35 persen untuk tujuh tahun berikutnya, dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan. Belajar dari catatan buruk sejarah ini maka peran elite Papua dan pemerintah sungguh sangat diharapkan lebih jeli dalam menetapkan kebijakan. Sebab dalam hal ini mereka memiliki andil yang besar dalam proses pembangunan dan kesejahteraan di Papua. 

RIPPP yang menjadikan Orang Asli Papua khususnya komunitas-komunitas masyarakat adat sebagai pihak penerima manfaat dari kebijakan dan tindakan afirmatif dari pemerintah. Untuk mencapai itu selain dilakukan dengan cara-cara yang baru menurut saya juga perlunya pengawasan yang ketat dari pemerintah perihal efisiensi anggaran yang dikeluarkan untuk pembangunan. Harus ada pengawalan, karena jika dibiarkan saja kerap kali apa yang sudah dicanangkan dengan amat matang dan sangat strategis hanyalah aturan di atas kertas, tetapi pelaksanaannya nol. Menurut saya ini juga menjadi salah satu faktor penting dari proses pembangunan daerah dengan status otonomi khusus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun