Hal yang berikutnya yaitu orang menaruh kebahagiaan pada hal-hal yang eksternal. Hal ini paling penting dan hampir semua orang terjebak oleh pemikiran yang keliru ini, termaksud saya sendiri. Saya juga pernah berpikir bahwa pasti jika saya sudah menjadi ini atau itu pasti saya bahagia.
Jika saya sudah mempunyai barang yang sangat saya sukai pasti saya akan merasa bahagia. Jika saya sudah mendapat pekerjaan pasti saya bahagia. Jika saya sudah berkeluarga pasti bahagia. Jika saya sudah mencapai yang saya harapkan pasti saya bahagia dan lain sebagainya. Padahal kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan hal-hal di luar kita. Walaupun kita sering menaruh kebahagiaan pada hal di luar kita; uang, jabatan, kekuasaan, kehormatan dan lain-lain. Hal itu tidak menjamin kebahagiaan kita, buktinya ada orang yang hidupnya sederhana saja tetapi tetap bahagia.
Lalu apa yang harus dilakukan agar bahagia?
 "Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa"
Ungkapan ini mungkin tidak asing lagi bagi kita, yang disampaikan oleh seorang filsuf besar yakni Socrates. Orang yang mengetahui dirinya sebenarnya tidak tahu apa-apa akan selalu belajar dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang sudah didapatnya. Menurut Socrates orang dapat mencapai kebahagiaan adalah dengan mempunyai arete. Kata arete kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata "virtue". Dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya dengan kebajikan atau keutamaan.
Ia mengatakan bahwa keutamaan adalah pengetahuan. Ini merupakan pendiriannya yang paling terkenal. Jika kita tidak mengetahui yang benar bagaimana kita dapat bahagia?. Sehingga sesungguhnya tidak ada orang yang jahat di dunia ini. Setiap orang melakukan apa yang baik untuk dirinya. Hanya karena ketidaktahuan sehingga ia berbuat keliru. Lalu siapa yang bertanggung jawab dari ketidaktahuan. Setiap orang bertanggung jawab atas ketidaktahuan dirinya. Oleh karena itu kita selalu dituntut untuk belajar dan banyak mengetahui apa yang baik dan benar.
Namun pendapat Socrates ini dibantah oleh muridnya sendiri yakni Aristoteles. Ia mengatakan bahwa kebahagiaan harus disamakan dengan aktivitas, bukan dengan potensialitas belaka. Sebagai contoh orang yang mempunyai pengetahuan belum tentu dapat melakukan kebaikan. Tetapi orang yang telah melakukan kebaikan pasti karena mempunyai pengetahuan yang benar, baik dan bijak.
 "Aktivitas mengejar keutamaan adalah yang membahagiakan"
Kita perlu mengubah sikap yang selalu menaruh persyaratan pada kebahagiaan. Anak-anak kecil pada saat bermain dengan teman-temannya mereka tampak sangat bahagia dan senang. Karena mereka tidak ada memikirkan hal lain selain permainan tersebut. Berbeda dengan orang dewasa. Saya akan bahagia jika ada mobil. Saya akan bahagia jika punya penghasilan yang gede. Jadi persyaratan untuk bahagia ada di masa yang akan datang. Kebahagiaannya nanti bukan saat ini, padahal hidup manusiakan sekarang bukan nanti.
Maka marilah kita menaruh perhatian pada apa yang sedang kita alami dengan sungguh-sungguh. Jika sedang makan ya nikmati makanannya. Sedang bekerja yang sungguh-sungguh bekerja. Jika kita sedang melakukan aktivitas yang fokus pada aktivitas tersebut. Apalagi aktivitas tersebut merupakan keutamaan pasti akan membahagiakan. Dengan kata lain keutamaan merupakan aktivitas yang membahagiakan.
Sikap yang selanjutnya yaitu lekat pada emosi negatif. Tetapi bukan maksudnya agar kita tidak memiliki emosi negatif. Sebab jika tidak memiliki emosi negatif hal itu tidak manusiawi. Kita pun perlu sesekali merasakan stres, depresi, sedih karena kehilangan, kecewa karena kegagalan. Itu semua baik. kita dapat merasakan semuanya itu dan biarkan semuanya berlalu, yang jelek adalah ketika kita melekat pada emosi tersebut.