Ambil jeda sedikit! Imajinasikan tatanan masyarakat dunia atau Indonesia dalam konteks yang lebih spesifik, tanpa kemunculan pendidikan. Rasanya muskil kehidupan homo sapiens bergerak dinamis-maju dibandingkan lanskap awal periode-periode evolusi. Di sini dan sekarang, kita harus 'bersekongkol' dengan John Dewey bahwa pendidikan bukan persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri. Tak setuju? Silahkan cari pembenaran lain.
  Pendidikan, hemat saya, adalah proses tak berujung pembentukan karakter-kualitas pribadi manusia mencakup otak, hati, tutur kata, hingga berbias pada pola laku sebagai makhluk beradab. Konteks Indonesia, konstitusi memagari orientasi pendidikan nasional dalam satu kalimat singular-general: mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dari visi ideal pendidikan tersebut bisa dibikin lebih banyak analisa. Upaya mencerdaskan berarti  upaya untuk mengubah kualitas personal manusia menjadi lebih baik. Maka tatkala kebodohan masih sering ditemui, di Indonesia, secara simultan esensi pendidikan patut dipertanyakan. Maafkan saya yang terlalu kejam memakai terminologi 'bodoh.' Namun, pada aras demikian saya hendak masuk sebab, rupa-rupa kebodohan amat jamak dan berbahaya, diperparah lagi ia merangkak naik lewat tangga gawai menuju rumah belantara virtual.
  Fenomena ini bisa membuka ruang diskusi perihal perkembangan teknologi komunikasi-informasi yang lari tunggang langgang dan menciptakan disrupsi. Namun, kita harus fair juga dengan tidak menuduh  teknologi sebagai biang kerok dari segala ketidaknormalan. Hal ini bertujuan agar kewarasan kita masih tetap berada pada lajur yang pas. Inovasi teknologi mempercepat kemungkinan perubahan plus kemajuan juga kok.
Lebih Dalam Soal Inovasi
  Sepertinya definisi inovasi perlu dibuka kembali. Inovasi (innovation) adalah pengubahan untuk meningkatkan nilai tambah dari sesuatu yang sudah ada. Jika dipadankan dengan teknologi, berarti upaya meningkatkan nilai ataupun fungsi teknologi untuk masa depan pendidikan Nusantara tercinta. Keren. Desain inovasi ini tidak start dari titik nihil sama sekali. Ketersediaan perangkat teknologi yang berlimpah ruah plus visi-misi pendidikan yang sudah dikukuhkan menjadi dasarnya. Inovasi teknologi untuk masa depan pendidikan Indonesia mempersyaratkan pengerahan pikiran melampaui batas ruang dan waktu yang sekarang. Wisata imajinasi mesti menempatkan teknologi dan pendidikan dalam satu simpul erat. Menyelami karakteristik teknologi dan kemudian memasangkannya dengan konsep-konsep pendidikan merupakan keniscayaan.
  Kanal teknologi itu maha luas. Desain inovasi yang digagas harus dapat dipraktikan dan berbias pada perubahan. Pengabaian atas dua persyaratan tersebut sama artinya dengan  mengantarkan inovasi-inovasi ke tempat peristirahatan terakhir. Seperti ditegaskan di muka, tujuan pertama dan utama pendidikan adalah sapiens Indonesia. Maka inovasi teknologi harus memperhatikan betul dimensi manusia. Hampir tiga tahun belakangan di tengah tubrukan pandemi, e-learning system menopang berlangsungnya proses transfer ilmu di bumi Indonesia. Fitur-fitur teknologi semisal Gmeet, Zoom, Gdrive, online course, e-campus, hingga e-library diberdayakan secara efisien.
  Namun, harus diakui kehadiran teknologi memang tak bisa jadi win-win solution atas semua masalah pendidikan nasional yang kompleks. Soal tunjangan dan kompetensi pengajar, tata kelola kebijakan oleh stakeholders, kesanggupan peserta didik mengakses pendidikan dengan kualitas standar (perihal pemerataan), serta atribut-atribut pendidikan semisal kurikulum yang sering tambal sulam adalah lanskap pendidikan kita saat ini. Rancangan inovasi teknologi diharapkan dapat mengurangi potensi masalah yang  lebih riskan. Oleh karena itu, sistem hibrida pendidikan memang dinilai sebagai alternatif adaptif di era digitalisasi. Tinggal selanjutnya ialah memastikan hibrida pendidikan betul-betul mengakselerasi kemajuan baik pada tataran individu maupun negara.
  Ada beberapa hal yang harus diperhatikan betul terkait ini. Pertama, pemanfaatan fitur teknologi semisal untuk virtual class tentu tak sepenuhnya menggantikan pembelajaran tatap muka. Pendidikan tak semata soal aktivitas pemberian nutrisi otak tetapi juga emosi. Niscaya bersua muka akan menggugah emosi. "Felt by touched and see," kata konco saya. Kedua, Pemanfaatan fitur teknologi mesti mengakrabkan perjumpaan lebih dari sekadar mendekatkan apalagi mengasingkan. Seingat saya, Yudi Latif pernah menuturkan: "Dengan teknologi anak-anak masa depan harus bisa menemukan 'rumah' (home) bukan menjerumuskan mereka ke 'tempat pengasingan' (alone)." Ketiga, aspek keberlanjutan plus fleksibilitas harus mendapat ruang sebab, sapiens Indonesia tidak hanya hidup here and now tetapi juga there and tomorrow. Keempat, evaluasi berkala. Upaya ini disinyalir sebagai spasi perihal menilai progres maupun kebermanfaatan dari serangkaian inovasi yang dijalankan. Yah, layaknya hidup senantiasa butuh evaluasi.  Â
Penutup: Bergegaslah
  Sebagai respon atas sejumlah poin yang disampaikan maka, mari ambil langkah yang perlu. Pertama, keberlangsungan proses pendidikan mensyaratkan literasi cerdas tak berkesudahan. Literasi digital sebagai alternatif harus diupayakan setepat mungkin menimbang derasnya arus informasi di era disrupsi ini. Kebijakan memasukan literasi digital dalam rumpun mata kuliah patut diapresiasi. Semoga bisa menampakkan hasil. Jangan lupa, hilangkan prasangka yang menganggap literasi sebagai aktivitas eksklusif yang mengabaikan keadaan sekitar. Kedua, pemanfaatan mahadata. Ini merupakan ciri khas teknologi. Multifungsi data semisal sebagai pijakan dalam melakukan riset. Riset amat berdaya guna dalam mengupayakan penemuan baru untuk kemajuan pendidikan.Â
Ketiga, pola inovasi teknologi menempatkan manusia Indonesia sebagai subjek bukan pelengkap penyerta. Manusia harus menjadi poros sehingga fenomena sapiens Indonesia diperalat dapat dihindarkan. Keempat, kerja sama. Saya perlu singgung soal narasi humanisme yang dicirikan dengan kemampuan sapiens bisa beradaptasi dan bekerja sama dengan jutaan sapiens lainnya secara efektif. Hal ini yang menjadi salah satu, jika bukan satu-satunya, pemicu sapiens bisa bertahan hingga kini. Kerja sama juga ditentukan oleh keterhubungan dan komunikasi satu sama lain. Dua prasyarat tersebut tentu sangat sanggup dipenuhi oleh perangkat teknolog, bukan? Kelima, perlu dirancang panduan pemanfaatan teknologi yang tepat guna bagi peserta didik. Hal ini bisa dijadikan pegangan dalam bermedia sosial misalnya, meski tak sepenuhnya menjamin. Better try than never at all. Maka, mari bergerak bersama untuk pendidikan humanis bagi masa depan Indonesia. Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H